Langsung ke konten utama

Review: Ada Apa Dengan Resep Ikan Hiu?

Ini bukan judul film, ini juga bukan sekedar sensasi. Tapi ini adalah tulisan singkat tentang dilema populasi ikan hiu, sebuah lomba, dan aktivis (ala jejaring sosial) dalam berbicara sesuai etik dalam ranah publik.

Baiklah, tanpa panjang lebar sejak pagi tadi saya kerap memantau yang nama pergerakan linimassa kicauan aka Twitter. Dan salah satunya adalah sebuah link yang mengarah pada lomba Visit Aceh 2013 yang baru-baru ini telah diumumkan disitus resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (disbudpar.acehprov.go.id).

Menariknya adalah salah satu pemenang dalam 26 kategori lomba yang diperlombakan tersebut adalah pada kategori kuliner dengan nama masakan "Engkot Yee Teu Peuaweuh" yang kalau di Indonesiakan nama masakannya itu adalah "Ikan Hiu Citarasa Ketumbar", ya kurang lebihnya seperti itulah.

Resep masakan ikan yang saya hitamkan di atas itu dimenangkan oleh Dra Faizah yang menempati juara I. Yang menjadi masalah kekeliruan mungkin baik bagi panitia lomba atau pun bagi yang membaca tulisan ini, yakni terletak pada nama ikan dan kenapa bisa menang? Mungkin itu yang dirasakan janggal oleh pemerhati hiu, penyelamat hiu, atau aktivis (jejaring sosial) terkait hewan laut yang kini mulai punah bukan?

Dengan begitu, "kritik dan saran telah kami terima", barangkali kata-kata itu yang bisa panitia utarakan saat ini terlepas dari hal lainnya, yang tentunya dengan itikad baik pihak panitia juga akan memikirkan tentang kritik dan saran tersebut.

Oke? lalu langkahnya bagaimana? membatalkan juara atau menghilangkan karya dan cipta orang lain demi sebuah kepentingan ikan hiu? walaupun begitu saya mencoba mencari solusi tengah-tengah (win-win solution) dan mohon maaf yang nama penengah (manusia) itu bukan Tuhan yang bisa adil-seadilnya.

Ikan Hiu

Ikan hiu kini menjadi salah satu hewan langka dan akan punah, setuju dong ya? karena ulah manusia ikan ini terus diburu di lautan lepas, demi segelintir nafsu lembaran uang berharga dan juga demi tenggorakan yang ingin merasakan kuliner hiu. (Data lengkap populasi hiu silahkan cari di Internet, dan saya tidak bahas disini)

Resep Kuliner Ikan Hiu

Bicara soal kuliner ikan hiu kini banyak dijumpai juga di restoran, rumah makan, sampai di warung-warung nasi termasuk di Aceh atau nasional dan mancanegara, apalagi seperti gambar di atas itu eungkot yee teupeuleumak rasanya enak sekali.

"Shark Attack!! Paket Hemat Makan Ikan Hiu di -sensor- hanya Rp 16.800 (normal Rp 28.000)", itu adalah salah satu tulisan promosi sebuah restoran yang telah saya sensor, demi sebuah kode netizen walaupun itu bersifat publik.

Jika Anda membaca tulisan promosi di atas, mungkin sangat geram kali ya, atau sudah memuncak di ubun-ubun. Tapi, tenang dulu dalam sebuah masalah kita perlu lakukan kroscek dan ricek agar kemaslahatan tetap terjaga dan tidak mengikuti nafsu alias emosi atau ego.

Bagi restoran atau rumah makan yang saya sensor itu, mereka telah menyediakan ikan hiu ternak yang artinya mereka menyediakan peternakan hiu, bukan tangkapan atau hasil pemburuan di laut. Wallahu'alam, jika pun mereka berbohong atas pernyataan tersebut, lebih baik berpikir positif dulu.

Lalu bagaimana dengan resep dari Dra Faizah? Eits, jangan pikir terlalu jauh dulu, coba arahkan kata kunci "resep gulai ikan hiu" atau sejenisnya di mesin pencari. Tentu bejibun tulisan yang menjelaskan detail kuliner tersebut bisa Anda temukan pastinya.

Sampai tulisan ini saya ketik, tidak ada satu bahan resep pun yang saya temukan kalau "Engkot Yee Teu Peuaweuh" dari Dra Faizah terpublish di Internet, artinya resep ini masih dipegang oleh panitia lomba.

Aktivis (ala Jejaring Sosial)

Mohon maaf ini saya kurungkan "ala Jejaring Sosial" karena kita tahu di era sosial media banyak sekali orang pintar nulis (update) status tapi tidak berani bertanggung jawab alias NATO (No Action Talk Only) kalau pun istilah bagi penggemar fans club mirip dengan "karbitan".

Maka dari itu, sosial media adalah media keterbukaan yang semuanya tidak harus diumbar-ember dengan menggebu menurutkan nafsu demi kepentingan pulan atau pulen.

Agak sedikit rancu, ketika melihat tekanan (komentar via Twitter, Facebook) netizen begitu banyak di situs Disbudpar untuk menarik juara lomba resep kuliner itu dibatalkan, beberapa ada yang berkomentar dengan baik dan sopan, cemoohan pun ada, bahkan ada yang merasa diri seperti aktivis yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Tapi lagi-lagi kaidah etik komunikasi di sosial media banyak dilanggar tanpa peduli kiri-kanan.

Jadi, kembali lagi solusi ini bukanlah mendukung pihak A atau B. Melainkan sama-sama mencari sesuatu rincian yang dianggap masalah menjadi sebuah hikmah jalan keluar yang semoga bisa saling dipertanggung jawabkan.

Pertama, bagi pihak yang memprotes (aktivis + ala jejarng sosial) baik berada di Banda Aceh atau sekitarnya segera lakukan komunikasi baik telewicara atau tatap muka dengan panitia atau dinas terkait untuk segera ditemukan titik temu, hindari konfrontasi di sosial media tanpa titik temu.

Kedua, setiap resep atau kuliner adalah karya, daya kreasi dan cipta seseorang yang tentunya harus dihargai sesuai dengan batas-batas, bukan menghina atau pun menghujat. Karena disisi lain kita mesti tahu dan berempati dengan perasaan orang yang telah membuat karya tersebut.

Ketiga, jika kedua pihak (aktivis dan panitia lomba) plus pemilik resep dipertemukan, insyaAllah akan ada jalan keluar. Bisa saja resep ini tetap juara, dengan catatan resep ini hanya dipergunakan untuk ikan hiu ternak bukan hasil transaksi dari nelayan di laut atau sebagainya.

Keempat, jika memang harus ditiadakan sebagai juara, pihak aktvitis dan panitia lomba tentu harus membuat kesepakatan lebih lanjut. Sejauh mana peredaran ikan hiu di masyarakat, seberapa besar rumah makan masih menyediakan menu laut ikan hiu (termasuk telur penyu), seberapa tegas aktivis dan pemerintah dalam menyadarkan nelayan/penikmat kuliner ikan hiu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup (ikan hiu) di laut dan sebagainya dan sebagainya.

Kelima, kalau pun tidak ada jalan keluar. Sudah bisa undang Panglima Laot dan perangkatnya serta Dinas Perikanan dan Kelautan. (masak sih sampai pada ayat ini?)

Sekian win-win solution dari saya sebagai masyarakat awam dengan segala keterbatasan ilmu. Semoga dengan inisiatif dan niat baik semua pihak, segalanya bisa berjalan baik dan lancar. Dan terima kasih buat yang sudah membaca dan merespon perihal ini, jika ada salah kata mohon dimaafkan dan jika kekurangan sana-sini besar harapan bisa dilengkapi, sekali lagi dengan etika dan sopan santun. :)

Postingan populer dari blog ini

Upcoming Facebook Redesign Surface

Macam-macam Penyakit Dunia yang Dikenal oleh Masyarakat Aceh

Penyakit donya (dunia) dalam pengetahuan orang Melayu seperti di Aceh adalah penyakit yang disebabkan oleh hal-hal supranatural atau adikodrati, atau tersebab manusia yang bersekutu dengan jin, setan, atau makhuk halus yang jahat. Aceh adalah salah satu suku terbesar di Propinsi Aceh. Kebesaran suku Aceh tidak hanya tampak dari kesenian dan kepahlawanan masyarakatnya, tetapi juga pengetahuan mereka terhadap penyakit dan penyembuhannya. Bagi mereka, sakit adalah hal serius yang harus disikapi. Karena itu, mereka mengabadikannya dalam sebuah pengetahuan tentang klasifikasi penyakit dan penyembuhannya (Meuraxa, Dado 1956; Rusdi Sufi dkk, 2006; Rusdi Sufi dkk, 2004).

10 Alasan Akun Facebook di Blokir

Ada 10 alasan yang mendasar kenapa akun facebook dapat diblokir, yaitu : 1. Tidak menggunakan nama asli. Jangan pernah menggunakan nama julukan karena Facebook bisa mengetahuinya. 2. Bergabung dengan Group terlalu banyak. Facebook hanya membatasi setiap user bergabung dengan 200 group saja. 3. Terlalu banyak mengirim pesan atau Wall di sebuah Group. Buat pengalaman aja aku pernah diblokir Facebook 3 kali karena sering melakukan ini.hehe.