Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Pidie

Sejarah: Batu Cadas dari Beureuneun

"Buntut?"-Daud Beureueh mengernyitkan dahi. Adegan ini terjadi pada awal 1980-an di Beureunen-kota kecil 15 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Ketika itu sang Abu-sebutan sehari-hari Daud Beureueh-baru pulang dari tahanan rumah di Jakarta.  Tengah berjalan-jalan di pasar dia melihat sekerumunan orang sibuk mencoret-coret kertas di sebuah kedai kopi. "Sedang apa mereka itu? Kok, sibuk sekali?" tanya Beureueh kepada Yasin, Camat Beureunen yang mendampinginya. "Mereka menerka kode buntut, Abu," jawab Yasin. Abu bergumam. "Hmm, judi rupanya." Tanpa disangka, Beureueh masuk ke kedai kopi itu. Tiba-tiba dia memukulkan tongkatnya keras-keras ke atas meja. Kertas kode buntut bertebaran. Lalu dengan suara menggelegar, dia menghardik dalam bahasa Aceh kasar: "Peu nyang neu peubut nyan. Buet bui? Apa yang sedang kalian kerjakan ini. Pekerjaan babi? Mereka yang hadir di kedai kopi itu langsung ambil langkah seribu. Tak ada yang berani...

Perang Cumbok, Sepotong Sejarah Gelap

Suara itu bergetar. "Saya tidak mau membicarakannya," kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayah dan ibu Ibrahim memang selamat dari Perang Cumbok, Aceh, 1946. Tapi nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga uleebalang, bangsawan. "Saya tak tahu di mana kubur mereka sampai kini," kata Ibrahim. Dan bukan hanya Ibrahim Alfian yang berduka. "Kita semua menangis mengenang kejadian berdarah itu," kata Farhan Hamid, anggota DPR dari Fraksi Reformasi. Farhan adalah anak ketiga dari Teungku Abdul Hamid-akrab dipanggil Ayah Hamid-ulama, juga sahabat Teungku Daud Beureueh. Perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie ini, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945.