Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sejarah Aceh

Kilas: Pelantikan Wali Nanggroe IX, Dinasti Baru ala Kerajaan Aceh Modern

Entah dari mana saya harus memulai menuliskan kilas alkisah ini, kadang media telah lebih dulu memendam impian dengan beribu-ribu trafik kunjungan (baca: berita) untuk mengenal Wali Nanggroe lebih dekat dibandingkan Band Wali asal Jakarta. Sebelum membaca, Anda jangan terlalu serius akan pembenaran, jangan gampang pesimis dengan segala hal yang mungkin sudah ketahuan dan mohon maaf atas banyak kekurangan dalam tulisan ini. Sekian! Tersebutlah bahwa 16 Desember ini menjadi hari yang paling dinantikan orang di Aceh, hari dimana label Wali Nanggroe akan dinobatkan secara sakral ala sidang istimewa DPR Aceh bekerjasama dengan Pemerintahan Aceh dengan alokasi anggaran Rp 2,4 miliar yang sebelumnya heboh dengan Rp 50 miliar sehingga menjadi gosip sosial (media).

Sejarah: Putro Manyang Seuludong, Ratu Islam di Kerajaan Jeumpa

Oleh Dr. Hilmy Bakar (CEO Crescent Group Malaysia) Menurut penelitian terkini para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke7 M, dunia Arab dengan dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat,terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Di antara pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan adalah Barus, Fansur, Lamri/Lamuri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan.

Kenangan Sejarah Banda Aceh Tempoe Doeloe

Oleh: Hasyim KS BAGIAN 1 Lenyapnya bekas-bekas sebuah kerajaan yang megah dari berbagai runtun para Sultan dan Sultanah di Aceh, menurut perkiraan beberapa pengamat sejarah adalah karena Aceh beda dengan kerajaan-kerajaan terkenal lainnya di Nusantara dalam bangun membangun sarana. Ternyata Aceh didominasi oleh budaya kayu sehingga tidak awet untuk ditemukan di zaman sekarang ini. Kecuali beberapa monumen seperti Gunongan salah satu peninggalan Sultan Iskandar Muda berikut sebuah gerbang kecil sebagai pintu belakang istana yang disebut Pinto Khob, khusus untuk para kerabat kerajaan untuk bersiram ( manoe meu-upa ) di Sungai Krueng Daroy. Plus beberapa situs sebagai makam-makam tua para penguasa dan keluarga kesultanan, awet karena terbuat dari bahan baku batu.

Aceh dan Indonesia Merdeka di Bulan Yang Sama

Cuma beda dua hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Aceh (Merdeka), kalau Indonesia jatuh 17 Agustus, sedangkan bagi Aceh tepat hari ini tanggal 15 Agustus. Jika tidak percaya sila lihat Wikipedia tertanggal 15 Agustus , tertulis disana 2005 - Konflik GAM-RI berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia. Ya, itulah waktunya (Merdeka) di Aceh yang bisa diambil kesimpulan selisih dua hari dari merdeka yang sebenarnya NKRI. Kalau saja hikmah kemerdekaan ini tidak ada aral yang melintang, dengan banyak jiwa-jiwa yang terbang, sudah pasti  tam tum pam pum  yang sangat mungkin masih tetap dilanjutkan.

Review: Hikayat Prang Kumpeni

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang. Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra, ia mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan (Semi,1984 : 52). Karya sastra merupakan refleksi zaman yang mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Pandangan dunia pengarang merupakan interaksi dari pandangan pengarang dengan kelompok sosia...

Sejarah: Kerajaan Poli Cikal Bakal Daerah Pidie

Ketika Meureudu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Kerajaan Poli (Pedir) sebagai cikal bakal daerah Pidie. Keberadaan dan sejarah kerajaan-kerajaan tersebut masih perlu ditelusuri lagi. Catatan-catatan sejarah yang ada sekarang, hanya sedikit yang menjelaskan tentang hal itu. Meski demikian, kedatangan Sultan Iskandar Muda ke Negeri Meureudu sebelum menyerang Pahang di Semenanjung Malaya bisa membuka sedikit tabir informasi tersebut. Informasi tentang kerajaan-kerajaan di Pidie dan Pidie Jaya sekarang lebih banyak didominasi oleh sejarah daerah tersebut setelah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Malah Negeri Meureudu dalam Kerajaan Aceh Darussalam memiliki peranan penting sebagai lumbung pangan. Informasi-informasi tentang keberadaan Negeri Meureudu sebelum Kerajaan Aceh Darussalam masih perlu penelitian lebih lanjut. Untuk membuka tabir informasi ke arah sana, keterangan dari sejarawan H M Zainuddin bisa menjadi informasi awal. H M Zainuddin dalam makal...

Video: Dokumenter Tragedi Simpang KKA, Krueng Geukuh

Hari ini tepat 13 tahun tragedi berdarah Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.  Tidak ada darah-darah yang beserekan disana kini, tidak ada juga slonsong peluru yang telah menembus orang-orang yang tidak berdosa, semua sudah kembali normal dan setelah 13 tahun simpang KKA pun semakin ramai. Tapi sadarkah kita, mengutip kata Pang Laot, Adli Abdullah, bagi masyarakat Aceh musuh itu tidak dibawa sampai mati. Musuh itu ada ketika masih hidup, kalau sudah meninggal itu dianggap sudah menjadi Bani Adam. Adakah kini 'musuh' itu yang masih hidup?

Sejarah: Ini Dia Sniper Aceh Yang Berhasil Menembak JH Köhler

Perang Aceh pertama yang dipimpin oleh Kohler atau bernama lengkap Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler sebenarnya cukup sukses dengan berhasil mencaplok Mesjid kebanggaan rakyat Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Namun pada tanggal 14 April 1873 serangan Belanda tersebut berhasil membakar Mesjid Raya Baiturrahman, pagi itu pula Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler yang sedang berdiri diatas tembok sumur mesjid yang telah terbakar, dengan memeriksa/menginspeksi dari jurusan mana untuk menggempur Keraton Daruddunnia (Jantung Hati Kerajaan Atjeh). Tiba-tiba seorang penembak bangsa Aceh dalam posisi merunduk melepaskan tembakan dari jarak 100 meter dan mengenai jantung sang jenderal. Beberapa saat kemudian sang jenderal itu tewas. Peristiwa tersebut tentu mengejutkan para pasukan kompeni ini dan akhirnya sang pahlawan si pembunuh jenderal itu gugur diberondong peluru oleh pasukan kompeni.

Sejarah: Catatan Kedermawanan Rakyat Aceh di Tanah Hijaz

Masih ingatkah Anda catatan sejarah tentang sumbangan masyarakat Aceh untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia? Saat itu masyarakat Aceh menyumbangkan emas kepada pemerintah RI untuk membeli pesawat tahun 1948. Sebagian emasnya masih dapat Anda lihat kini pada tugu Monas (Monumen Nasional). Hal ini bukan satu-satunya bukti kedermawanan rakyat Aceh. 200 tahun lebih sebelumnya, masyarakat Aceh telah mempraktekkan salah satu ajaran Islam yaitu, “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Abad ke-17 Masehi (1672) dikabarkan Syarif Barakat penguasa Mekkah saat itu tengah berbenah diri membangun kota Mekkah terutama masjid-masjid yang memiliki nilai sejarah Islam. Syarif Barakat berupaya mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram mengingat kondisi Arab pada saat itu kekurangan dana. Masjid Al-Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekkah ternyata terkait dengan sumbangsih Kesultanan Aceh Darussalam yang tak banyak diketahui ceritanya. Ada banyak sekali ha...

Sejarah: Salman al-Parsi Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, dunia Arab dengan dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja...

Sejarah: Panglima Maharaja Tibang Muhammad

Setiap perwira yang bertugas di Aceh pasti mengenal Panglima Tibang. Saya memperoleh kesempatan menulis ringkasan sejarah hidupnya. Karenanya, agar diketahui umum, saya mengharapkan bantuan redaksi Indisch Militair Tijschrift untuk memuatnya dalam majalah tersebut. Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad bukan keturunan Aceh. Ia berasal dari Lahore, Hindustan yang datang ke Aceh selagi masih anak-anak. Tadinya ia berdiam pada uleebalang Gigieng Bentara Keumangan di pantai Utara Aceh dan tidak lama antaranya ia berada dalam lingkungan terdekat Sultan Aceh. Sejak pemuda ia telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang panglima perang. Atas jasa-jasa yang diberikan sultan telah menghibahkan kepadanya sebuah kampung yang bernama Tibang sebagai hak miliknya yang pada waktu itu mencakup sepuluh buah menunasah. Disebabkan hibah inilah ia menggunakan gelar Panglima Tibang. Berturut-turut sultan menugaskannya untuk memangku berbagai jabatan dan bertahun-tahun lamanya ia diberi tug...

Sejarah: Peran Aceh Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia

Tulisan ini berjudul asli Peran Aceh Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Perlu di "Nasionalkan" Kembali!!! yang ditulis oleh T.A. Sakti yang tak lain dan tak bukan adalah salah satu peminat sejarah, dan kini tinggal di Darussalam, Banda Aceh. Mencermati Dialog sejarah dengan pelaku sejarah A.K. Jakobi dan pembacaan puisi bertema sejarah oleh L.K.Ara di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya, Unsyiah, Banda Aceh, Kamis siang, 5 Mei 2011 amat menggugah saya sebagai peminat sejarah. Betapa tidak!. Sebab, belum lewat sebulan lalu (12/4) di Kampus Darussalam yang dijuluki "Jantung Hati Rakyat Aceh" ini juga telah berlangsung seminar sejarah dengan tema yang sama, yakni “Peran Aceh dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Dengan narasumber tak tanggung-tanggung pula, yaitu Prof. Dr. Darni M. Daud, MA selaku Rektor Unsyiah dan Dr, Ahmad Farhan Hamid,MS sebagai Pembicara Kunci,yang kini berjabatan Wakil Ketua MPR RI. Sebagai...

Analisis: Dari Hinduisme Hingga Islamisasi di Aceh

Oleh Nofal Liata Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya mempunyai kepercayaan tersendiri yang dikenal sebagai animisme, dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta), dan nenek moyang. (Abdul Hadi, 2005). Sistem kepecayaan seperti ini sudah berlangsung cukup lama puluhan abad lamanya. Seperti yang di kemukakan oleh seorang ilmuan Inggris dalam teorinya bahwa “asul mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa, kemudian mereka memahami adanya mimpi dan kematian.” (Edwar Burnet Taylor, 1832-1917).  Kumpulan masyarakat primitif Aceh dahulu kala sudah terbentuk dengan sendirinya secara alami, namun pada saat itu mereka sudah mengenal konsep penyembahan. PenTuhanan yang di lakukan oleh masyararakat Aceh zaman dulu kala masih sangat sederhana, dimana bentuk Tuhannya itu masih beraneka ragam, belum sistematis dan masih belum seragam. Dalam kondisi seperti itu mereka menemukan cara penyembahan dan pengabdian yang di kembangkan berdasark...

Sejarah: Laksamana Malahayati, Pahlawan Emansipasi yang Terlupakan

Bicara soal perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Perempuan yang untuknya tidak ada lagu pujian. Pahlawan yang jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya. Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati (1585-1604). Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis). Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee. Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi...

Sejarah: Segelintir Kisah Panglima Polem

Oleh Junaidi Mulieng “SAYA sudah tiga tahun menemani Panglima,” ungkap lelaki tua itu. “Itu saya lakukan atas kerelaan dan keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun yang saya terima dan saya tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya. Namanya Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya dipenuhi keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu yang jadi sekat tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel permakaman Panglima Polem. “ Meunoe keuh meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau sudah tua, tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara parau. Ia mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana abu-abu. “ Ka lhee beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit, beliau tidak ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.

Sejarah: Inilah Pidato Peresmian Kerajaan Aceh Darussalam

Ilustrasi: salah satu manuskrip tentang keberadaan kerajaan Samudra Pase Pidato ini merupakan pidato pertama kali dalam sejarah pendirian atau peresmian Kerajaan Aceh Darussalam, dimana raja pertama adalah Meurah Johan yang mendapatkan gelar Sultan Alaidin Johansyah. PIDATO SYEKH ABDULLAH KAN’AN Assalamu’alaikum Wr.Wb. Segala puji hanya untuk Allah, Pencipta dan Pemilik semesta alam Salawat dan salam untuk penghulu kita Rasulullah Muhammad SAW. Saudara-saudara yang kami muliakan, Hari ini kita menutup musyawarah akbar Kerajaan Seudu, Indra Purwa, Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purba serta diikuti oleh wakil dari Kerajaan Islam Peureulak, Pase, Benua dan Kerajaan Islam Lingga. Kita telah sepakat untuk mendirikan satu Kerajaan Islam Aceh dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarah: Batu Cadas dari Beureuneun

"Buntut?"-Daud Beureueh mengernyitkan dahi. Adegan ini terjadi pada awal 1980-an di Beureunen-kota kecil 15 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Ketika itu sang Abu-sebutan sehari-hari Daud Beureueh-baru pulang dari tahanan rumah di Jakarta.  Tengah berjalan-jalan di pasar dia melihat sekerumunan orang sibuk mencoret-coret kertas di sebuah kedai kopi. "Sedang apa mereka itu? Kok, sibuk sekali?" tanya Beureueh kepada Yasin, Camat Beureunen yang mendampinginya. "Mereka menerka kode buntut, Abu," jawab Yasin. Abu bergumam. "Hmm, judi rupanya." Tanpa disangka, Beureueh masuk ke kedai kopi itu. Tiba-tiba dia memukulkan tongkatnya keras-keras ke atas meja. Kertas kode buntut bertebaran. Lalu dengan suara menggelegar, dia menghardik dalam bahasa Aceh kasar: "Peu nyang neu peubut nyan. Buet bui? Apa yang sedang kalian kerjakan ini. Pekerjaan babi? Mereka yang hadir di kedai kopi itu langsung ambil langkah seribu. Tak ada yang berani...

Perang Cumbok, Sepotong Sejarah Gelap

Suara itu bergetar. "Saya tidak mau membicarakannya," kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayah dan ibu Ibrahim memang selamat dari Perang Cumbok, Aceh, 1946. Tapi nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga uleebalang, bangsawan. "Saya tak tahu di mana kubur mereka sampai kini," kata Ibrahim. Dan bukan hanya Ibrahim Alfian yang berduka. "Kita semua menangis mengenang kejadian berdarah itu," kata Farhan Hamid, anggota DPR dari Fraksi Reformasi. Farhan adalah anak ketiga dari Teungku Abdul Hamid-akrab dipanggil Ayah Hamid-ulama, juga sahabat Teungku Daud Beureueh. Perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie ini, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sejarah: Aceh Sebelum Kesultanan Aceh

Oleh Andi Nur Aminah Situs purba di beberapa kawasan sekitar Aceh Besar, menunjukkan pernah ada permukiman cukup ramai sebelum Kesultanan Aceh berdiri. Pertengahan abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam di proklamirkan pendiriannya di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496). Kesultanan ini berdiri menjelang keruntuhan kerajaan Isam pertama di Indonesia, Samudera Pasai (1360). Jejak kemegahan Kesultanan Aceh masih bisa ditemui hingga saat ini. Aceh mencapai masa kegemilangannya saat dipimpin oleh Sultan Iskanda Muda. Kala itu, Aceh berhasil memukul mundur kekuasaan Portugis di Selat Malaka. Kesultanan Aceh pun mampu memperluas kekuasa annya hingga ke pesisir Pulau Sumatra hingga Jawa dan menyeberang hingga ke Semananjung Melayu. Penang, Perak, Selangor, Johor, dan Pahang di Malaysia pernah menjadi bagian Kesultanan Aceh saat dipimpin Sultan Iskandar Muda. Aceh pun melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.

Penelitian: Sejarah Aceh Sebelum Masa Kesultanan

Oleh E. Edwards McKinnon* Pengantar Pertama-pertama perlu saya jelaskan bagaimana saya dapat memberikan makalah tentang sejarah Aceh ini. Pada tahun 1975, pada waktu saya masih kerja di Medan dan sebelum saya berangkat ke Cornell untuk belajar untuk S2 dan S3, berdasarkan minat saya belajar tentang sejarah Aceh, Alm H. Mohd Said, pemilik Harian Waspada dan penulis buku  Atjeh Sepanjang Abad  men a warkan sebuah kunjungan bersama ke Aceh.  Kami telah mengunjungi beberapa situs2 purbakala sekitar Lhokseumawe maupun Aceh Besar, termasuk desa Lambaro Neujid, atau situs Indrapurwa di Kec. Lambadeuk maupun benteng Indrapatra di desa Ladong dan Benteng Iskandar Muda diseberang dari desa Meunasahkeude di Kec. Mesjid Besar di wilayah Krueng Raya. Pada waktu itu kami tidak sempat melanjutkan perjalanan ke desa Lamreh atau melihat bekas Benteng Inong Bale atau Kuta Lubhok di Ujung Batee Kapal. Pembatalan mengunjungi desa Lamreh pada waktu itu berakibat pada kekeliruan ...