Langsung ke konten utama

Menikah Tanpa Keturunan


Sebagian orang memilih untuk tidak memiliki keturunan ketika mereka menikah dengan pasangannya. Keputusan itu sering dinilai tidak wajar. Namun bagi mereka yang menjalaninya, hidup menjadi terasa lebih mudah.

Banyak latar belakang yang membuat seseorang tidak mau punya anak. Dewi Larasati (50) atau lebih akrab dipanggil Tike merasa tidak siap menjadi orangtua, sampai kapan pun. Bukan biaya yang dipikirkannya, perempuan yang berprofesi pengacara ini tidak tahan dengan kerewelan anak-anak. Ia juga tidak telaten mengurus dan mendidik anak.

”Anak adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kehidupan. Kalau kita tidak siap bertanggung jawab, untuk apa memiliki anak?” kata Tike. Sudah lebih dari 19 tahun sejak ia menikah dengan suaminya, Edmund Heng (54), Tike tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak memiliki anak.

Pengalaman masa kecil diakui Tike ikut memengaruhi keputusannya. Sejak kecil, Tike tinggal di luar negeri karena ibunya, Basundari Suyono, adalah diplomat yang bertugas di beberapa negara di Eropa. Setiap hari, Tike melihat ibunya sibuk luar biasa.

Di samping harus mengurus kelima anak bersama suaminya (Tike dan keempat saudaranya masing-masing hanya berselisih umur satu tahun), Basundari disibukkan dengan tugas-tugas kantor. Ibu Tike ini juga kerap menerima tamu sampai malam hari atau mengikuti perjalanan dinas ke luar negeri, ”Rasanya kok ribet banget mengurus anak,” kata Tike.

Subekti (59) atau Bekti, dosen di Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat, punya alasan lain. Pria yang menghabiskan masa kecilnya di Salatiga, Jawa Tengah, itu lebih takut dengan emosinya sendiri bila ia punya anak. ”Saya dibesarkan oleh ibu yang pemarah dan ayah yang tidak dekat dengan anak-anaknya. Kalau saya punya anak, malah kasihan anak-anak saya,” kata Bekti yang yakin bahwa jika punya anak ia akan berperilaku seperti ayah atau ibunya.

Bekti mengaku pernah mengalami tekanan psikologis karena suasana rumahnya yang tidak nyaman. Ia menjadi sosok pendiam, namun menyimpan kemarahan yang mudah meledak. ”Saya bukan benci anak-anak. Tetapi saya tidak tahan kalau mereka rewel atau bertengkar, misalnya,” kata Bekti yang mengaku sudah tidak ingin punya anak sejak duduk di bangku SMA.

Selalu tidak ada alasan tunggal yang melatarbelakangi sebuah keputusan. Seperti diungkapkan Paulus Sapto Indratmo (38), biasa dipanggil Sapto, pekerja swasta di Jakarta yang sudah 10 tahun menikah dengan Lola Larasaki (35).

Sapto mengaku tidak mau punya anak karena tidak mau menambah populasi manusia yang sudah membengkak. Ia juga miris dengan banyaknya anak telantar di negeri ini. Alasan lain, di keluarga Sapto ada riwayat kanker. Ia khawatir riwayat itu bakal menurun ke anak-anaknya.

Komunikasi

Psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Ratna Juwita, menilai, kecenderungan pasangan yang menikah tanpa anak adalah hal yang biasa di luar negeri. Namun di Indonesia, rata-rata pasangan yang menikah pasti berharap memiliki anak. Keinginan untuk punya anak itu masih kuat karena biasanya pasangan tidak bisa menghindar dari tuntutan sosial.

Namun, di belantara kehidupan kota besar yang sesak dan ruwet seperti Jakarta, orang menjadi lebih individualistis. Mereka tidak lagi berpikir tentang lingkungan sosial di sekitarnya sehingga bersikap lebih realistis. Seperti kata Bekti, ”Untuk bertahan hidup di Jakarta saja sudah sulit. Apalagi bila harus menanggung anak.”

Ratna menilai tidak ada salahnya bila pasangan tidak punya anak. ”Melalui proses berpikir, mereka menentukan sendiri hidup yang akan dijalaninya. Itu sesuatu yang positif, hanya saja harus dikomunikasikan dengan pasangan,” katanya.

Sebelum meminang Lucia, Bekti berterus terang kepada calon istrinya itu bahwa ia tidak ingin memiliki anak. Lucia yang tidak langsung setuju dengan keputusan Bekti lalu mencari masukan dari pamannya. Entah apa sebabnya, Bekti sendiri tidak tahu, akhirnya Lucia mau juga menikah dengan Bekti. Kini usia pernikahan mereka sudah memasuki rentang 31 tahun.

Sedangkan Tike tidak memberi tahu suaminya secara langsung kalau ia tidak ingin memiliki anak. Di depan Edmund, setiap pagi Tike rutin meminum pil antihamil. Juga jika hendak bepergian bersama sang suami, Tike tidak pernah lupa membawa pil antihamilnya. ”Dari situ suami tahu kalau saya tidak mau punya anak. Dia malah suka mengingatkan aku untuk minum pil,” katanya.

Bagi Tike maupun Bekti, keluarga mereka tidak ada yang menentang keputusan untuk tidak punya anak. Namun, pilihan itu tidak mudah bagi Sapto, terutama saat berhadapan dengan keluarga sang istri. ”Awalnya, keluarga istri keberatan dan mengimbau kami untuk punya anak. Tetapi saya dan istri tetap gigih tidak mau punya anak,” kata Sapto. Setelah empat tahun, akhirnya keluarga sang istri tidak lagi mengutak-atik keputusan mereka.

Bekti juga sempat jengkel karena orang sering bertanya tentang keputusannya untuk tidak memiliki anak. Ujung-ujungnya, Bekti kerap dinasihati. ”Kalau ada yang menasihati saya dengarkan saja, tetapi keputusan tetap di tangan saya. Ini hidup saya,” kata Bekti.

Bebas

Demikian juga dengan Tike. Baginya, kehidupan tanpa anak membuat hidup yang dijalaninya lebih ringan.

Selepas bekerja, perempuan yang berprofesi pengacara ini punya waktu luang untuk dirinya sendiri. Setiap akhir pekan ia pergi ke Cinere, Jakarta Selatan, untuk menengok kudanya. Di situ Tike juga berlatih naik kuda.

Kadang-kadang Tike juga mengendarai sepeda motor Harley Davidson miliknya dari apartemennya di Slipi, Jakarta Barat, ke kantornya di kawasan Sudirman. Kalau sedang libur panjang, dia dan Edmund pergi berkemah atau menyelam ke luar kota. Karena memiliki waktu untuk diri sendiri, Tike merasa hidupnya menjadi seimbang meski tinggal di kota Jakarta yang padat.

Bekti dan Lucia juga memiliki dua anjing agar rumah mereka menjadi lebih ramai. Setiap hari anjing itu diurus Lucia, sementara Bekti lebih sering mengajak anjing-anjingnya bermain.

Bagi Bekti, setiap hari rasanya seperti berbulan madu. Sepulang kerja, ia lebih banyak melewatkan hari dengan mengobrol dengan sang istri karena ia tidak punya televisi. Setiap akhir pekan, mereka berdua pergi ke gedung bioskop untuk nonton film.

Malam itu, Kamis (21/1), Bekti sedang menunggu dijemput Lucia. Ini malam istimewa. Mereka akan nonton film dan makan malam untuk merayakan ulang tahun perkawinan.

sumber : http://id.news.yahoo.com/kmps/20100125/tls-menikah-tanpa-keturunan-8d16233.html

POPULAR

Rasulullah Pingsan dan Menangis Saat Mendengarkan Jibril Mengisahkan Pintu Neraka

Yazid Ar raqqasyi dari Anas bin Malik ra. berkata: Jibril datang kepada Rasulullah pada waktu yang ia tidak biasa datang dalam keadaan berubah mukanya, maka ditanya oleh Rasululah Saw: "Mengapa aku melihat kau berubah muka (wajah)?" Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui bahwa neraka Jahannam itu benar, siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu terbesar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya".

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Nusantara

Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. i Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendo...

Generasi Muda Wajib Tahu! Museum Tsunami Aceh Jadi Pusat Belajar Mitigasi

MUSEUM Tsunami Aceh kembali jadi sorotan. Kali ini, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ( Wamen Dukbangga ) atau Wakil Kepala BKKBN , Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka , berkunjung langsung untuk melihat bagaimana museum kebanggaan masyarakat Aceh ini terus hidup sebagai pusat edukasi kebencanaan, Kamis, 9 Oktober 2025.  Didampingi Ketua TP PKK Aceh Marlina Usman, kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Isyana menegaskan bahwa museum ini punya peran strategis: bukan hanya monumen peringatan tsunami 2004 , tapi juga ruang belajar generasi muda tentang kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan keluarga. “Museum ini jadi pengingat dahsyatnya tsunami 2004, sekaligus tempat belajar bagi generasi yang saat itu belum lahir. Mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang,” ujar Isyana, yang juga mengenang pengalamannya meliput langsung Aceh pascatsunami 20 tahun lalu. Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M Syahputra AZ, menyambut hangat kunjungan ini. Ia menegaskan bahw...