Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kerajaan Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), maka Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M. Ia yang pada awal abad XVI Miladiyah telah menjadi salah satu dari “Lima Besar Islam”, melengkapi dirinya dengan berbagai peraturan perundangan, organisasi dan lembaga-lembaga negara, termasuk pusat-pusat pendidikan yang bertugas mengadakan tenaga-tenaga ahli dalam segala bidang dan mencerdaskan rakyat.
Salah satu alat kelengkapannya yang amat penting adalah Qanun Aceh atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Pedoman yang dipakai berupa sebuah naskah tua yang berasal dari Said Abdullah, seorang teungku di Meulek.
Qanun Aceh yang disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat sempurna menurut ukuran zamannya. Hal ini menyebabkan Qanun Aceh dipakai menjadi pedoman oleh Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini, H. Muhammad Said, seorang ahli sejarah, menulis beberapa peraturan disempurnakan. Oleh karena kemasyhuran perundang-undangan Kerajaan Islam Aceh masa itu, banyak negeri tetangga yang melakukan copy pasteperaturan hukum Aceh untuk negerinya. Di antaranya, India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Hal ini terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dapat dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Jadi, adat Meukuta Alam adalah adat yang bersendi Syara’.
Qanun Aceh yang disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat sempurna menurut ukuran zamannya. Hal ini menyebabkan Qanun Aceh dipakai menjadi pedoman oleh Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini, H. Muhammad Said, seorang ahli sejarah, menulis beberapa peraturan disempurnakan. Oleh karena kemasyhuran perundang-undangan Kerajaan Islam Aceh masa itu, banyak negeri tetangga yang melakukan copy pasteperaturan hukum Aceh untuk negerinya. Di antaranya, India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Hal ini terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dapat dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Jadi, adat Meukuta Alam adalah adat yang bersendi Syara’.
Haji Muhammad selanjutnya menulis “… Sebuah kerajaan yang jaya masa lampau di Kalimantan, yang bernama Brunei (sekarang Kerajaan Brunei Darussalam), ketika diperintah oleh seorang sultan bernama Sultan Hasan, merupakan seorang keras pemeluk Islam setia. Dia telah mengambil pedoman-pedoman untuk peraturan negerinya dengan berterus terang mengatakan mengambil teladan Undang-Undang Mahkota Alam Aceh.” Hal ini suatu bukti kemasyuran dan nilai tinggi Negeri Aceh yang sudah dimaklumi orang masa itu.
Pengaruh Qanun Aceh
Qanun Aceh atau disebut juga Adat Meukuta Alam yang berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ dan Qias. Qanun Aceh menetapkan bahwa dari empat sumbernya itu dibentuk empat jenis hukum, yaitu (1) kekuasaan hukum, dipegang oleh Qadhi Malikul Adil, (2) kekuasaan adat, dipegang oleh Sultan Malikul Adil, (3) kekuasaan qanun, dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat, (4) kekuasaan reusam, dipegang oleh penguasa tunggal, yaitu sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam negara perang.
Dalam melaksanakan empat jenis hukum ini, Qanun Aceh menetapkan bahwa raja dan ulama harus menjadi dwi tunggal, seperti tercantum dalam qanun (yang diturunkan apa adanya). Artinya, ulama dengan raja atau rais tidak boleh jauh atau bercerai. Jika bercerai, niscaya binasalah negeri ini. Barang siapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat, maka tersalah dengan dunianya, dan barang siapa mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, berdosalah ia kepada Allah. Maka hendaklah hukum dan adat seperti gagang pedang dengan mata pedang. Ini menandakan bahwa hukum sekuler yang berdasarkan akal (rasional) semata belumlah lengkap, karena jangkauan akal itu sangat terbatas. Sesungguhnya ada hal-hal yang tak terjangkau oleh akal sekalipun.
Rukun-rukun kerajaan ini diharuskan oleh Qanun Aceh agar seorang sultan yang diangkat menguasai ilmu dunia dan akhirat, kuat iman, dan menjalankan syariat. Tentang hal ini, dalam qanun tertulis: “Bahwa jika raja adil, maka dia harus memiliki ilmu dunia dan akhirat, memiliki iman yang kuat, taqwa kepada Allah, malu kepada Rasul Allah, serta mengerjakan syariat nabi.”
Di samping itu, harus beramal shaleh, berbuat adil kepada sekalian rakyat, mampu melawan hawa nafsu syaitan, dan mampu mensejahterakan kehidupan rakyat sehingga selamat dan bahagia dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika seorang sultan bersikap zalim, dia harus dihukum sesuai yang berlaku dalam Qanun.
Sebagai satu kerajaan yang dibangun atas ajaran Islam, Kerajaan Aceh Raya Darussalam dinyatakan sebagai negara hukum, bukan negara hukuman yang mutlak. Hal ini sesuai maksud Qanun Aceh, “Bahwa Negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah, bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Rakyat bukan patung berdiri di tengah padang, tapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan barat. Jangan dipermudah sekali-kali rakyat.”
Tentang sumber hukum, dalam Qanun Aceh dengan tegas dicantumkan bahwa sumber hukum Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Al- Qur’anul Karim, Al-Hadist, Ijma’ ulama, ahli sunnah, dan Qias.[]
sumber : http://www.malimsonline.com/?p=708
Komentar