Mengenal Aceh tidak semudah mengenal dan membaca lembaran-lembaran sejarah yang ada di buku, pahit dan manis, masa kelam dan jaya semuanya adalah sebuah proses yang begitu lama terjadi. Bukan soal kebanggaan yang tak berdasar atas nama cinta, bukan pula sikap apatis yang sama sekali tidak mengenal jati diri, Aceh adalah serangkaian kisah dengan lembaran-lembaran yang belum berakhir dari dulu, sekarang, dan mungkin sampai nanti.
Di ranah sosial media, kita bisa begitu banyak menemukan kata-kata Aceh yang meusipreuk alias berseliweran. Namun, entah apa gerangan mata saya tertuju pada akun twitter @Malahayati_. Nama yang begitu familiar, tersemat seorang pahlawan yang telah dikenal dunia, Laksamana Malahayati.
Jadi, ini bukan kisah atau sejarah pahlawan yang terkenal dengan kegigihan itu, tapi tentang beberapa kicau Malahayati yang juga seorang mahasiswi ini tentang sikap diskriminasi dan sanksi sosial masyarakat di Aceh setempat saat dia berkunjung ke Serambi Mekkah. Wah, diskriminasi? Hal ini paling menarik dan menggelitik bagi media (sekuler dan liberalis) jika ingin 'menelanjangi' Aceh dari sisi yang luar biasa. "Semua dunia tertuju pada mu," mungkin tagline ini memang menjadikan Aceh kian mempesona.
Tidak berpanjang lebar, inilah beberapa kicauan dari penulis @Malahayati_ yang berada di Denpasar ini.
Kesimpulan akhir saya adalah dengan mengingat kutipan lawas nan modernis, "Di mana bumi dipihak, di situ langit dijunjung". Ketika kita mampu menghormati kearifan lokal dan budaya setempat, maka berawal dari situ pula lah kita telah ikut menghargai tanah air ini, selebihnya silahkan Anda berpikir.[]
Di ranah sosial media, kita bisa begitu banyak menemukan kata-kata Aceh yang meusipreuk alias berseliweran. Namun, entah apa gerangan mata saya tertuju pada akun twitter @Malahayati_. Nama yang begitu familiar, tersemat seorang pahlawan yang telah dikenal dunia, Laksamana Malahayati.
Jadi, ini bukan kisah atau sejarah pahlawan yang terkenal dengan kegigihan itu, tapi tentang beberapa kicau Malahayati yang juga seorang mahasiswi ini tentang sikap diskriminasi dan sanksi sosial masyarakat di Aceh setempat saat dia berkunjung ke Serambi Mekkah. Wah, diskriminasi? Hal ini paling menarik dan menggelitik bagi media (sekuler dan liberalis) jika ingin 'menelanjangi' Aceh dari sisi yang luar biasa. "Semua dunia tertuju pada mu," mungkin tagline ini memang menjadikan Aceh kian mempesona.
Tidak berpanjang lebar, inilah beberapa kicauan dari penulis @Malahayati_ yang berada di Denpasar ini.
Kenapa sih masalah berpakaian aja jadi ribet? Kalau datang ke daerah yang mayoritas muslim, ya berpakaianlah sepatutnya.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
memang ada diskriminasi dan sanksi sosial untuk perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariat islam di Aceh, saya mengalami sendiri.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
pernah saya memakai pakaian lengan pendek dan celana, di kendaraan umum, saya tidak dibolehkan duduk di bangku penumpang.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Waktu itu saya tidak terlalu mengerti tentang aturan wajib berpakaian yang sudah ditetapkan di Aceh.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Ya ngomel2, ngamuk2, ga pake nebalik-nebalikin meja sih, tapi ya kesel. Masih banyak bangku kosong tapi saya disuruh duduk di bangku tempel.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Tapi setelahnya, saya pikir2 lagi, saya yang seharusnya menghormati adat istiadat dan peraturan yang sudah ditetapkan di satu daerah.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Bukan hanya di Aceh, di daerah Minangkabau, Sumatera Barat, berpakaian sopan juga sudah merupakan peraturan yang tidak tertulis.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Tentang peraturan yang tidak boleh duduk mengangkang ketika naik sepeda motor, penerapannya gak sesaklak itu kok.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Ada yang namanya tenggang rasa, dalam kondisi-kondisi tertentu, penerapan Syariat Islam di Aceh menurut saya sudah sangat fleksibel.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Saya berusaha menempatkan diri pada posisi orang Aceh yg misalnya melihat pendatang dgn celana pendek dan tanktop, pasti jengah dan marah.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Walaupun banyak bapak2 mata keranjang, di Aceh juga banyak alim ulama yang beneran alim ulama, hormati mereka!
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Perempuan-perempuan Aceh, dengan hijab dan gamis, tidak pernah dilarang untuk bersuara. Hak-hak mereka sangat diperhatikan.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Permasalahan yang paling mendasar di Aceh itu adalah pendidikan dan kesehatan.Sekian isi tweet yang berhasil saya kutip tanpa meminta izin terlebih dahulu, berhubung ini adalah suara publik yang tersebar di sosial media. Jadi, jika ada kelanjutan dari kicauan tersebut silahkan lihat di linimassa @Malahayati_.
— Malahayati (@Malahayati_) June 3, 2013
Kesimpulan akhir saya adalah dengan mengingat kutipan lawas nan modernis, "Di mana bumi dipihak, di situ langit dijunjung". Ketika kita mampu menghormati kearifan lokal dan budaya setempat, maka berawal dari situ pula lah kita telah ikut menghargai tanah air ini, selebihnya silahkan Anda berpikir.[]
Semua foto atau gambar bisa saja memiliki hak cipta dan bersumber - klik kanan "view images".
Komentar