Langsung ke konten utama

Anak-anak Negeri Facebook

Oleh: Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

Anak-anak telah menjadi bagian dari warga facebook (fb). Di situs jejaring sosial itu, kita bisa melihat foto-foto anak terserak, mulai dari foto bayi hingga foto-foto masa kecil penuh nostalgia. Mereka tampil dalam beragam ekspresi.

Sejatinya, anak-anak belum dapat memiliki akun fb karena tidak memenuhi syarat usia yang diminta, yakni berusia 17 tahun ke atas. Namun di fb, seseorang mudah melakukan pendaftaran online internet (sign up) bila mempunyai alamat email.

Identitas bisa saja dipalsukan, mengingat ketika pendaftaran tidak diharuskan menyertakan kopi bukti data diri. Jika semua kolom data pribadi diisi lengkap, dan verifikasi email member telah berhasil, maka kurang dari 10 menit seorang anak sudah bisa memiliki akun fb yang diinginkan.

Bahkan, mereka bisa membuat lebih dari satu akun dengan nama-nama samaran dan foto antah-berantah, misalnya berupa gambar tokoh film kartun, pemain sepak bola atau foto-foto dari orang yang berbeda jenis kelamin dengannya. Patut disayangkan, bila orang tua membuatkan fb bagi anaknya yang belum cukup umur karena secara tidak langsung orang tua mengajari anak berbohong.

Untuk diketahui, Indonesia menempati peringkat pertama di Asia sebagai pengguna fb terbanyak, sedangkan pada level dunia, posisi Indonesia ada pada urutan ketujuh. Sampai bulan Januari 2010 saja, jumlah user dari situs jejaring sosial karya Mark Zuckerberg ini mencapai 15,3 juta orang.


Menurut Komnas Perlindungan Anak, sekitar 53 persen di antara facebooker tersebut masih berusia anak-anak, yakni di bawah 18 tahun. Di situs jejaring sosial ini, mereka bukan hanya dapat memperbanyak teman tapi juga dimanjakan oleh permainan game online, dan mungkin juga judi online.

Orang Tua Virtual

Sudah menjadi takdir anak-anak kita hidup di era Gelombang Ketiga (the third wave), menurut kategorisasi perkembangan dunia versi Alvin Toffler lewat bukunya Future Shock (1988). Futurolog sosial ini mengatakan, industri Gelombang Ketiga berkisar pada elektronika, sinar laser, optik, komunikasi dan informasi.

Itu berarti, kita mustahil bisa menahan, apalagi melarang, kecenderungan anak-anak membangun relasi sosial dan berinteraksi dalam masyarakat informasi yang nyaris tanpa batas. Apa yang terjadi pada anak-anak kita yang sibuk mengakrabi fb, mau tidak mau, suka tidak suka, diterima sebagai realitas zaman kekinian.

Sikap, perilaku, dan kebiasaan mereka menunjukkan telah bergesernya selera sebuah generasi yang oleh Don Tapscott (2009) disebut sebagai “the next generation” atau oleh John Palfrey dan Urs Gasser (2008) diistilahkan sebagai "digital natives".

Maka, tidak perlu bekernyit dahi bila hasil penelitian Kaiser Family Foundation, sebagaimana dilansir situs resmi UNESCO Asia Pasifik, menyebutkan bahwa Generasi M2, yakni remaja berusia 8-18 tahun, cenderung menggunakan teks pesan daripada berbicara saat berkomunikasi.

Lembaga penelitian yang fokus pada gadget dan gaya hidup mobile itu menemukan terjadinya peningkatan penggunaan teks pesan untuk berkomunikasi di kalangan Generasi M2 dari 38 persen pada tahun 2008 menjadi 54 persen di tahun 2009. Hasil penelitian serupa juga disampaikan oleh Pew Internet & American Life Project.

Lembaga survei internet yang berkedudukan di negeri Paman Sam ini menyebutkan, saat ini, waktu yang digunakan anak-anak untuk berkomunikasi melalui texting semakin banyak dibanding dengan talking, bicara berlama-lama di telepon kabel atau seluler. Media komunikasi texting adalah SMS, chatting, instant messaging, dan situs pertemanan seperti fb.

Kecenderungan ini bisa terjadi lantaran penggunaan teks pesan melalui internet dianggap lebih ekspresif, interaktif dan serba hadir. Apalagi, menurut Idi Subandy Ibrahim, seorang peneliti pada Institut Komunikasi Publik (Sindo, 4/10/2009) sekat hierarki dan batas-batas yang menghalangi kesetaraan posisi pelaku komunikasi dijebol dengan bahasa dan simbol yang dikonstruksi bersama sesuai selera mereka.

Sehingga bagi mereka, bukan makna pesan yang diutamakan melainkan “kehadiran”. Kata yang ditulis dalam tanda petik ini seolah menjadi barang langka dan mewah bagi sebagian anak-anak yang hidup dalam keluarga super sibuk.

Anak-anak seperti ini lazimnya hanya dilimpahkan materi dan kebutuhan bendawi oleh orang tuanya sementara aspek kebutuhan rohaninya kering kerontang. Lebih tragis lagi, bila orang tua hanya tampak secara fisik di hadapan anak-anak namun dekapan kehangatan dirinya sebagai orang tua tak dirasakan anak-anaknya.

Tidak mengherankan bila kemudian anak-anak lebih memilih curhat melalui internet dibanding mengomunikasikan langsung masalah yang dihadapi kepada orang tuanya. Internet seolah menjadi orang tua virtual bagi anak-anak.

Gejala ini paling tidak tergambarkan pada studi yang dilakukan Board of Trustees for Get Connected di Inggris, yang menemukan bahwa 9 dari 10 remaja berusia di bawah 25 tahun menggunakan internet untuk mencari solusi atas masalah pribadi mereka.

Sepertiga dari seribu remaja yang disurvei itu mengaku mendiskusikan masalah mereka dengan ibunya dan hanya satu dari 20 remaja berbicara kepada ayahnya guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sebaliknya, sebanyak 42 persen menyebutkan bahwa mereka merasa lebih nyaman berhubungan dengan temannya.

Pisau Bermata Dua

Tidak jadi soal bila di antara mereka terbangun perbincangan, dialog, diskusi, dan saling berbagi untuk menguatkan satu sama lain. Yang jadi masalah bila curhat itu berujung pada penyelesaian jalan pintas, bujukan penuh jebakan, yang mengarah pada dijadikannya mereka sebagai korban cyber crime.

Mencuatnya kasus beberapa gadis remaja, di awal tahun ini, yang dilaporkan menghilang dari rumahnya setelah berkenalan dengan teman facebookernya memberi peringatan dini bagi kita bahwa fb bukanlah teknologi yang 100 persen ramah bagi anak.

Ibarat pisau, ia bisa digunakan untuk menyajikan beragam kuliner tapi juga berpotensi digunakan sebagai alat kejahatan. Fakta paling mencengangkan adalah terbongkarnya praktik prostitusi anak yang memanfaatkan fb sebagai media untuk menawarkan gadis-gadis belia kepada calon pelanggan mereka.

Secara teknologis, menurut pakar digital forensik Ruby Alamsyah, banyak cara untuk bisa mengantisipasi maraknya prostitusi di dunia maya. Salah satunya melalui penyensoran data dan penelusuran pola-pola yang digunakan.

Tapi yang lebih penting dari itu adalah pemerintah Indonesia sudah saatnya meratifikasi optional protocol Konvensi Hak-hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, Pornografi Anak agar terbangun harmonisasi hukum nasional dengan standar internasional. Juga agar ada kesatuan pandangan antar para penegak hukum dalam melihat persoalan ini.

Di sisi lain, anak-anak tidak banyak yang menyadari bahwa situs jejaring sosial merupakan ruang publik yang juga memiliki tatanan sosial.

Etika sederhana yang mesti menjadi panduan adalah mereka harus menghormati audiens, tidak bersikap (memposting kata-kata, gambar, dan suara) yang berpotensi menyinggung audiens, serta menjaga kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan penuh rasa tanggung jawab.

Karena itu, mereka tidak bisa seenaknya menggunakan kata-kata kasar, makian, tidak sopan, dan bernada menghina, bahkan yang mengarah pada pengancaman terhadap seseorang.

Anak-anak perlu diberi rambu-rambu agar mereka mampu memaksimalisasi pemanfaatan teknologi secara sehat. Di sinilah pentingnya literasi media yang perlu diajarkan ke anak-anak. Kata kuncinya: tidak semua yang kita ketahui harus/perlu dilakukan, dan tidak semua yang di-upload orang ke akun kita diteruskan ke akun orang. Jangan sampai, dari kitalah persoalan bermula meski bukan kita sebagai causa primanya. Dan itu baru efektif jika orang tua juga melek media.

sumber :http://metronews.fajar.co.id/read/99361/19/anakanak-negeri-facebook

Postingan populer dari blog ini

Upcoming Facebook Redesign Surface

Macam-macam Penyakit Dunia yang Dikenal oleh Masyarakat Aceh

Penyakit donya (dunia) dalam pengetahuan orang Melayu seperti di Aceh adalah penyakit yang disebabkan oleh hal-hal supranatural atau adikodrati, atau tersebab manusia yang bersekutu dengan jin, setan, atau makhuk halus yang jahat. Aceh adalah salah satu suku terbesar di Propinsi Aceh. Kebesaran suku Aceh tidak hanya tampak dari kesenian dan kepahlawanan masyarakatnya, tetapi juga pengetahuan mereka terhadap penyakit dan penyembuhannya. Bagi mereka, sakit adalah hal serius yang harus disikapi. Karena itu, mereka mengabadikannya dalam sebuah pengetahuan tentang klasifikasi penyakit dan penyembuhannya (Meuraxa, Dado 1956; Rusdi Sufi dkk, 2006; Rusdi Sufi dkk, 2004).

10 Alasan Akun Facebook di Blokir

Ada 10 alasan yang mendasar kenapa akun facebook dapat diblokir, yaitu : 1. Tidak menggunakan nama asli. Jangan pernah menggunakan nama julukan karena Facebook bisa mengetahuinya. 2. Bergabung dengan Group terlalu banyak. Facebook hanya membatasi setiap user bergabung dengan 200 group saja. 3. Terlalu banyak mengirim pesan atau Wall di sebuah Group. Buat pengalaman aja aku pernah diblokir Facebook 3 kali karena sering melakukan ini.hehe.