Langsung ke konten utama

Nyabu jadi Abu, Ngopi bisa Happy

Program rehabilitasi 100.000 penyalahguna narkoba sudah digulirkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan sejumlah kementerian yang dilaksanakan pada 2015.

Program dari BNN tentu punya maksud untuk membantu sesama umat manusia di Indonesia, yang pastinya bertujuan menekan kasus penyalahgunaan narkoba.

Sekilas, keseriusan BNN dan sejumlah elemen dalam penanganan masalah narkoba bisa kita acungi jempol, karena selain melakukan upaya pencegahan dan rehabilitasi juga yang tak kalah menarik, yakni upaya pemutusan rantai peredaran gelap narkoba yang ada diseluruh pelosok Indonesia, dan lebih tepatnya pelosok kampung-kampung atau daerah terpencil yang sarat dengan anak-anak muda.

Mencegah lebih baik daripada mengobati, kalimat ini memang sudah sering terdengar. Karena yang namanya mengobati tentu lebih banyak pengeluaran yang harus dikuras dibandingkan mencegah. Tapi, apakah sudah berhenti disitu? Menelisik soal narkoba khususnya di Aceh bukanlah perkara mudah.

Beberapa tulisan di blog ini pernah mengungkapnya soal sejarah bagaimana ganja bisa hadir di Indonesia dan Aceh pada khususnya, namun lambat laun kasus narkoba di Aceh juga terus merajalela dengan kehadiran sabu. Dan hal yang paling mencengangkan ketika beberapa televisi nasional juga mulai blak-blakan soal peredaran narkoba di Aceh yang diungkap secara gamblang, dari hulu hingga hilir, hingga dengan kehadiran sindikat yang telah dimenej dengan baik oleh pelaku.

Nyabu jadi Abu, Ngopi bisa Happy

Belakangan ini Aceh kembali menjadi sorotan media, kasus-kasus kehilangan orang juga kerap mewarnai headline, baik media cetak atau elektronik.

Entah mengapa, sejumlah berita juga menjadi terpelintir ke arah A hingga Z. Nasib oh nasib, sering sekali gampong-gampong di Aceh sudah tak aman, sudah tak kondusif, dan yang paling parah masyarakat juga sudah tidak peka. Memangnya apa yang terjadi di Aceh? Hal yang paling fatal adalah penyebaran dan peredaran narkoba jenis sabu menjamur, dari mulai pelajar hingga pengangguran (yang bersarjana) yang notabene tidak lagi sebagai pemakai, tapi juga kerap menyandang status pengedar.


Efek narkoba memang luar biasa, pengaruh psikologis yang menimpa korban akan mengantarkan seseorang menjadi psikopat, mati rasa, menghalalkan segala cara demi secuil "dunia" yang melenakan itu.

Bukan kalimat nyeleneh, nyabu itu bisa jadi abu. Pengaruh mengkonsumsi barang haram yang awalnya dikasih percuma sedikit demi sedikit lama-lama harus membayar dengan harga mahal. Sudah barang tentu, jika yang diinginkan oleh pencandu sudah tak sanggup terbayarkan, pencadu akan mencari korban, begal bisa terjadi dimana-mana, status dan jabatan tak lagi menjadi pertimbangan, mau penegak hukum atau abdi negara, narkoba siap membunuh masa depan mereka alias harapan telah menjadi abu.

Dari pada nyabu, alangkah lebih senangnya kita jadi pecandu si air itam pekat, karena ngopi bisa happy dan yang paling menarik di Aceh ada tagline jep kupi mangat bek pungo. 

Kembali Pada Pokok

Adanya gerakan rehabilitasi penyalahguna narkoba dari BNN ini sudah barang tentu langkah tepat jika melihat situasi dan kondisi yang semakin menjadi-jadi, jelas pecandu bukan untuk dihukum penjara tapi justru direhabilitasi untuk kesembuhan dari kecanduan. Namun, tidak berlaku bagi pengedar, tindak tegas dari pihak berwajib tentu sangat diperlukan untuk memutuskan mata rantai dari fenomena gunung es yang terlihat saat ini.

Untuk menyukseskan gerakan rehabilitasi penyalahguna narkoba tidak serta merta hanya diserahkan kepada BNN, peran masyarakat dan pemuda dalam gerakan ini juga perlu lebih cekatan. Tidak membiarkan jika melihat dan mencurigai tindakan yang aneh dalam masyarakat, ya paling kecilnya apa yang terjadi disekitar lingkungan rumah dan gampong-gampong semisalnya di Aceh.

Karena bicara soal peran, lagi-lagi kita akan memulai dari kesadaran. Sama halnya juga saat berhadapan dengan penyalahguna narkoba, jika mereka sadar tentu mereka tidak akan menyentuh barang haram itu, justru yang dilarang kadang akan membuat seseorang merasa tak sadar.

Dan siapa pun yang telah terlibat sebagai pecandu dengan barang haram itu, tentu kembali pada pokok, yakni rehabilitasi penyalahguna narkoba harus diutamakan daripada hukuman penjara. Semoga saja gagasan mewujudkan Indonesia Sehat Tanpa Narkoba ini benar-benar terwujud, bukan lagi sekedar berita yang menghiasi media massa, tapi memang hilang secara pelan-pelan dari lingkungan yang ada sekitar kita.

Jangan nyabu, mari ngopi!

Komentar

POPULAR

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Nusantara

Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. i Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendo...

Generasi Muda Wajib Tahu! Museum Tsunami Aceh Jadi Pusat Belajar Mitigasi

MUSEUM Tsunami Aceh kembali jadi sorotan. Kali ini, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ( Wamen Dukbangga ) atau Wakil Kepala BKKBN , Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka , berkunjung langsung untuk melihat bagaimana museum kebanggaan masyarakat Aceh ini terus hidup sebagai pusat edukasi kebencanaan, Kamis, 9 Oktober 2025.  Didampingi Ketua TP PKK Aceh Marlina Usman, kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Isyana menegaskan bahwa museum ini punya peran strategis: bukan hanya monumen peringatan tsunami 2004 , tapi juga ruang belajar generasi muda tentang kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan keluarga. “Museum ini jadi pengingat dahsyatnya tsunami 2004, sekaligus tempat belajar bagi generasi yang saat itu belum lahir. Mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang,” ujar Isyana, yang juga mengenang pengalamannya meliput langsung Aceh pascatsunami 20 tahun lalu. Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M Syahputra AZ, menyambut hangat kunjungan ini. Ia menegaskan bahw...

Museum Tsunami Aceh Hadirkan Koleksi UNHCR sebagai Media Pembelajaran Kebencanaan

UPTD Museum Tsunami Aceh akan segera memperkaya koleksinya dengan penambahan barang-barang bersejarah berupa bantuan kemanusiaan yang digunakan pada masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca tsunami 2004. Koleksi ini akan disumbangkan oleh UNHCR Indonesia sebagai wujud dukungan terhadap upaya pelestarian memori kolektif bencana dan pendidikan kebencanaan. Barang-barang yang akan diserahkan antara lain selimut, ember, perlengkapan dapur, dan tikar yang membawa logo UNHCR. Kepala Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Francis Teoh, menegaskan bahwa benda-benda tersebut bukan sekadar artefak, melainkan simbol nyata dari solidaritas global. “Barang-barang ini merupakan saksi bisu dari upaya kemanusiaan dunia yang menyatu dengan gelombang solidaritas untuk Aceh,” ujar Teoh, Sabtu, 27 September 2025. Teoh yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun di UNHCR dan terlibat langsung dalam tanggap darurat tsunami Aceh, menambahkan bahwa Museum Tsunami Aceh adalah ruang pembelaj...