Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Sejarah: Syeikh Abbas Kuta Karang Ahli Astrologi Aceh

Orang pertama memperkenalkan karya ulama besar dari Aceh ini merupakan Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi. Karya yang dimaksud itu berjudul Sirajuz Zhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahasi fis Syuhuri wal Aiyam, yang dicetak pada bagian pertama grup Tajul Muluk. Kemudian ditemukan karyanya yang berjudul Qunu 'liman Ta'aththuf yang masih dalam bentuk manuskrip, beberapa buah tersimpan di Museum Islam Pusat Islam Kuala Lumpur, juga di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia dan koleksi penulis sendiri. Karena itu, penulis mulai melacak secara serius dan mengumpulkan data mengenai ulama besar Aceh tersebut. Secara tidak disengaja, dua kertas kerja yang dibentangkan dalam Bengkel Sejarah Bahasa Melayu Dari Berbagai Kota (anjuran Bagian Penelitian Bahasa (DBP) dan Institut Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu (UKM 1992), ada sedikit informasi tentang ini. Dalam kertas kerja yang dibentangkan oleh Tuanku Abdul Jalil yaitu seorang Sekre

Sejarah: Aceh Sebelum Kesultanan Aceh

Oleh Andi Nur Aminah Situs purba di beberapa kawasan sekitar Aceh Besar, menunjukkan pernah ada permukiman cukup ramai sebelum Kesultanan Aceh berdiri. Pertengahan abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam di proklamirkan pendiriannya di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496). Kesultanan ini berdiri menjelang keruntuhan kerajaan Isam pertama di Indonesia, Samudera Pasai (1360). Jejak kemegahan Kesultanan Aceh masih bisa ditemui hingga saat ini. Aceh mencapai masa kegemilangannya saat dipimpin oleh Sultan Iskanda Muda. Kala itu, Aceh berhasil memukul mundur kekuasaan Portugis di Selat Malaka. Kesultanan Aceh pun mampu memperluas kekuasa annya hingga ke pesisir Pulau Sumatra hingga Jawa dan menyeberang hingga ke Semananjung Melayu. Penang, Perak, Selangor, Johor, dan Pahang di Malaysia pernah menjadi bagian Kesultanan Aceh saat dipimpin Sultan Iskandar Muda. Aceh pun melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.

Cut Nyak Dhien: De leidster van Het Verzet (Pemimpin Perlawanan)

Aceh merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Di Sumedang tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkan

Hukum Menutupi Rambut Bagi Wanita

Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum Muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut  wanita  itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya. Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat Al-Qur’an: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, …”  (Q.s. An-Nuur: 31). Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak. Dalam tafsirn

Penelitian: Sejarah Aceh Sebelum Masa Kesultanan

Oleh E. Edwards McKinnon* Pengantar Pertama-pertama perlu saya jelaskan bagaimana saya dapat memberikan makalah tentang sejarah Aceh ini. Pada tahun 1975, pada waktu saya masih kerja di Medan dan sebelum saya berangkat ke Cornell untuk belajar untuk S2 dan S3, berdasarkan minat saya belajar tentang sejarah Aceh, Alm H. Mohd Said, pemilik Harian Waspada dan penulis buku  Atjeh Sepanjang Abad  men a warkan sebuah kunjungan bersama ke Aceh.  Kami telah mengunjungi beberapa situs2 purbakala sekitar Lhokseumawe maupun Aceh Besar, termasuk desa Lambaro Neujid, atau situs Indrapurwa di Kec. Lambadeuk maupun benteng Indrapatra di desa Ladong dan Benteng Iskandar Muda diseberang dari desa Meunasahkeude di Kec. Mesjid Besar di wilayah Krueng Raya. Pada waktu itu kami tidak sempat melanjutkan perjalanan ke desa Lamreh atau melihat bekas Benteng Inong Bale atau Kuta Lubhok di Ujung Batee Kapal. Pembatalan mengunjungi desa Lamreh pada waktu itu berakibat pada kekeliruan pendapat saya

Berkaca pada Kitab Mir’at al-Thullâb

Oleh Jabbar Sabil SEBENARNYA sangat memalukan jika Pemerintah Aceh sekarang bingung dari mana memulai penerapan syariat Islam di Aceh. Sementara khasanah masa lalu yang mengajarkan apa itu “local wisdom”-nya Aceh terus dibiarkan terbengkalai lapuk dimakan waktu, atau dijarah pihak asing. Salah satunya, kitab Mir’at al-Thullâb (ditulis oleh Syiah Kuala tahun 1672 M) yang kalau mau membacanya kita harus ke Malaysia, Leiden, London.   Adapun di Aceh, Anda jangan mimpi bisa membacanya, sebab Dayah Tanoh Abe yang memiliki tiga salinan manuskrip ini telah mengunci pintu rapat-rapat. Wajar, sebab naskah kuno ini barang seksi yang ingin diperkosa banyak oknum. Hanya kebersahajaan ahli waris Dayah Tanoh Abe saja yang membuat naskah ini masih ada di Aceh. Ironis memang, padahal Mir’at al-Thullâb adalah bukti positivisasi hukum Islam pertama, jauh sebelum Turki melakukan pembaruan hukum di abad 19. Di Turki ada Majallat al-Ahkâm yang ditulis dalam periode tanzimat/reorganisasi (18

Punk, Anarkisme, dan Ideologi

Di awal tahun 70an the Beatles, Rolling Stones, dan Led Zeppelin menjadi raja di semua panggung musik dunia. semua remaja saat itu ingin menjadi begian dari musik dan kehidupan mereka. tapi di london, inggris tempat semua jenis musik itu dilahirkan terdapat beberapa remaja yang sudah bosan dengan musik rock and roll ala the beatles dan rolling stones. di inggris band-band seperti sham69, the business, dan cock sparrer bernyanyi tentang hidup di jalanan kota london.  Di jalanan itulah musik punk mulai menemukan bentuknya. nama reality punk atau street punk dipakai sebagai indentitas genre musik baru itu. pertengahan 70an istilah punk rock mulai merebak di klub-klub musik di inggris dan amerika. adalah ramones, sex pistols, the damned, dan the clash yang menjadi pelopor aliran ini. musik punk yang anti-establishment dengan chord-chord yang sederhana diadaptasi dari struktur musik garage rock dari tahun 1960-an. Punk merupakan sub-budaya yang pada awalnya selalu dikacaukan oleh go

Qanun Aceh dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam Nusantara dan Dunia

Aceh  adalah daerah yang menjadi tempat pertama perkembangan agama Islam. Secara kronologis, Kerajaan Islam di Aceh dimulai oleh Kerajaan Aceh Darussalam, ber­pusat di Banda Aceh, sekitar abad 16 M. Pada masa itu Aceh juga tampil sebagai pusat kekua­saan politik sekaligus pusat perkembangan budaya dan peradaban Asia Tenggara. Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kera­jaan Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), maka Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M. Ia yang pada awal abad XVI Miladiyah telah menjadi salah satu dari “Lima Besar Islam”, melengkapi dirinya dengan berbagai peraturan perundangan, organisasi dan lembaga-lembaga negara, termasuk pusat-pusat pendidikan yang bertugas mengadakan tenaga-tenaga ahli dalam segala bidang dan mencerdaskan rakyat. Salah satu alat kelengkapannya yang amat penting adalah Qanun Aceh atau Undan