Entah dari mana saya harus memulai menuliskan kilas alkisah ini, kadang media telah lebih dulu memendam impian dengan beribu-ribu trafik kunjungan (baca: berita) untuk mengenal Wali Nanggroe lebih dekat dibandingkan Band Wali asal Jakarta. Sebelum membaca, Anda jangan terlalu serius akan pembenaran, jangan gampang pesimis dengan segala hal yang mungkin sudah ketahuan dan mohon maaf atas banyak kekurangan dalam tulisan ini. Sekian!
Tersebutlah bahwa 16 Desember ini menjadi hari yang paling dinantikan orang di Aceh, hari dimana label Wali Nanggroe akan dinobatkan secara sakral ala sidang istimewa DPR Aceh bekerjasama dengan Pemerintahan Aceh dengan alokasi anggaran Rp 2,4 miliar yang sebelumnya heboh dengan Rp 50 miliar sehingga menjadi gosip sosial (media).
Konon nominal 2,4 miliar akan digunakan secara efisien, seperti efisiensi sewa tratak, konsumsi dan khanduri bagi undangan yang mencapai 5 ribu orang (rakyat jelata hingga kaum berdasi), hingga pengadaan nasi ketan untuk peusijuk (tepung tawar) di Pendopo, tempat dimana sultan Aceh dulu bersumpah dengan Belanda.
Yang tidak boleh ketinggalan adalah pengamanan, bukan pasukan berkuda atau sekaliber pejuang Aceh dulu yang dipersenjatai dengan peudeueng on jok (pedang daun ijuk), ingat seremonial ini akan terbilang modern dan jauh dari nilai-nilai sejarah dan budaya Aceh dahulu. Menurut Humas Machdum Sakti (Polisi) Daerah Aceh, Kombes Pol Gustav Leo siap menerjunkan 1.158 anggota keamanan dari berbagai satuan seperti Polisi Militer, TNI, Satpol PP dan Polisi.
Untuk menetralisir dan menghindari sejumlah gangguan, pihak pengamanan juga akan menutup ruas jalan untuk umum, dari T Nyak Arif, Simpang Lima sampai ke Simpang Jambo Tape Banda Aceh mulai pukul 08.00 sampai 12.00 WIB. Selain itu Pendopo juga dalam pengawasan pihak keamanan, yang tidak ketinggalan satgassangar elit red party juga pasti ikut bagian. Sekian berita yang berkembang.
Wali dan Dinasti
Kini masuk ke inti dan misteri sejarah, ini bahan yang sangat berat dalam melepaskan benang merah yang sudah meuceu'ut-ceu'ut, tapi alhamdulillah sejarah Wali Nanggroe masih banyak bisa kita temukan referensi di internet tanpa harus saling menggurui atau digurui.
Karena memang kilas ini harus sedikit demi sedikit dituntaskan, maka kita kembali dulu sejenak dalam bahasan Cap Sikureueng (sembilan), sebuah stempel para Sultan dan Sultanah Aceh dari turun temurun yang sering kita temukan cap ini ada dalam sarakata, tapi lagi-lagi tidak semua sarakata yang beredar ada cap para raja.
Menyebutkan sarakata akan membawakan kita para peninggalan ratusan tahu lalu, apalagi kalau bukan manuskrip. Dalam manuskrip kita juga akan mudah melihat dan mendapat istilah atau nama jabatan-jabatan dalam pemerintahan semisal jabatan sultan, raja, perdana menteri, menteri, hulubalang, kadli (qadhi), bentara, panglima, kepala mukim, keuchik, waki keuchik, imam kampung, keujruen, bujang dan tuha peuet.
Tentang Wali Nanggroe salah satunya, jika merujuk pada sejumlah manuskrip bisa dikaji dulu dari naskah Adat Meukuta Alam. Naskah ini merupakan Hukum Dasar alias Konstitusi Tertulis Kerajaan Aceh Darussalam, yang konon dipakai sejak Sultan Iskandar Muda dan terus mengalami revisi oleh para sultan dan sultanah Aceh selanjutnya. Hal ini pernah disampaikan oleh T.A. Sakti, seorang penulis dan penyalin manuskrip Aceh.
Dalam Adat Meukuta Alam terdapat beberapa jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Kadli Malikul Adil, Raja Udah na Lela, Panglima Paduka Sinara, Sri Maharaja Indra Laksamana, Panglima Sagi, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Hulubalang Rama Setia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Bentara, Datu, Imum Mukim, Keujruen, Kechik.
Sementara dalam Hikayat Malem Dagang juga dijumpai beberapa nama jabatan pemerintah, Bujang, Teungku Pakeh, Maharaja Indra, (Panglima Pidie), Ja Ulama/Ja Madinah (Meureudu), Maharaja (Samalanga), Panglima, Tandi, Keuchik, Waki dan Peutua Nanggroe.
Naskah lainnya adalah Hikayat Akhbarul Karim yang dikarang oleh Teungku Seumatang menjelang Belanda menyerang Aceh tahun 1873. Isinya mencakup segala bidang agama Islam. Menurut kitab ini, seseorang memang telah ditentukan pangkatnya. Dalam kutipan berikut ini akan dijumpai beberapa jabatan yang sudah 'diadatkan' dikehendak Tuhan kepada seseorang, yaitu Nyang keu Nabi han keu umat/Nyang keu rakyat hankeu raja. Nyang keu Geusyik han keu Waki/Nyang keu Tandi han Bentara. Raja, Geusyik, Waki, Tandi dan Bentara adalah jabatan-jabatan pemerintahan masa kerajaan Aceh Darussalam. Tulis T.A. Sakti dalam sebuah tulisan "Menjaring Wali Nanggroe dalam Manuskrip".
Lalu ada juga naskah semisal Hikayat Abunawah. Isinya mengkritik pemerintahan Baghdad. Jabatan-jabatan pemerintahan yang dijumpai di dalamnya adalah Khalifah, Mentroe, Raja, Peurdana Meuntroe, Wazi, Uleebalang, Bentara, Datu dan Bujang. Dan yang terakhir ada Tazkirat Thabaqat. Naskah yang mengulas struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam; sejak level Keuchik sampai Sultan. Pertama ditulis pada masa Sultan 'Alaiddin Mahmud Alqahar (sebelum Sultan Iskandar Muda. Terakhir disalin Sayid Abdullah alias Teungku Di Mulek pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H. Ditulis jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Raja, Mangkubumi, Mufti, Perdana Menteri, Kadli Malikul Adil, Menteri, Raja Mudasyah Bandar, Hulubalang, Tandi Kawal, Panglima Laot, Panglima Meugoe, Kuejruen Blang, Keuchik, Waki Keuchik, Teungku Sagoe, empat orang wakil Teungku Sagoe dan Tuha Peuet.
Dari beberapa manuskrip di atas, ternyata tidak ada satu naskah pun yang menyebut lembaga Wali Nanggroe. Hanya istilah Peutua Nanggroe, yang dapat kita temukan dalam hikayat Malem Dagang. Ketika perjalanan lewat darat sultan Iskandar Muda ke Peusangan, beliau bertanya kepada pemimpin masyarakat di sana, "Padum na kapai di gata sinoe. Tapeugah bak kamoe sigra-sigra, kapai tuanku lah ka neu tanyong, kapai limong di sinoe nyang na. Kricit narit Peutua Nanggroe, ureueng mat sagoe muhon bak raja. Ampon tuanku cahi 'alam, seumah laman duli sarpada. Kamoe bek neuba bak prang timu. Bek unoe juho prang Malaka. Kamoe tuanku sinoe neu keubah. Meudrop-drop gajah keupo meukuta".
Hanya saja itu masih beberapa naskah manuskrip, masih ada puluhan manuskrip lain yang mungkin saja memuat tentang perihal Wali Nanggroe. Namun, jangan salah dalam produk sejarah Aceh kontemporer seperti termaktub dalam buku yang ditulis M. Nur El Ibrahimy berjudul "Tgk. M. Daud Beureu-eh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh" terdapat 6 buah lampiran yang menyebut jabatan Wali Negara. Semua surat-surat, seruan, pengumuman atas nama Wali Negara itu ditandatangani oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Besar kemungkinan istilah Wali Negara itulah yang akhirnya diterjemah ke bahasa Aceh menjadi Wali Nanggroe.
Hal lain lagi tentang Wali Nanggroe pernah dilontarkan oleh M Adli Abdullah, salah satu pemerhati sejarah dan peradaban Aceh. Dalam tulisannya "Kisah Wali Nanggroe" menyebutkan istilah Wali (mungkinkah ini penerjemahan dari Kadli Malikul Adil, -pen) pengambilan muncul pada saat Aceh dipimpin Sultanah Shafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678 M), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688), dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu, Wali Nanggroe Aceh dijabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi/Kadli Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditabalkan untuk ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi. Namun, setelah Syekh Abdurrauf As-Singkili meninggal, istilah Wali tak terdengar lagi. Bahkan, Sultanah Kamalatsyah pun diturunkan atas "fatwa politik ulama Mekkah" dan sejak saat itu Aceh kembali dipimpin oleh dinasti Jamalullail dari Arab (1699-1727).
Istilah Wali muncul kembali pada 1870 ketika Tuwanku Hasyim Bangta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak diangkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia. Tak lama kemudian atau tepatnya pada 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh. Tuwanku Hasyim berupaya menyelamatkan wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmud Syah yang masih kecil ke Lueng Bata, Kutaraja (sekarang Banda Aceh-ed.) hingga mengembuskan napas terakhir pada 28 Januari 1874, terkena penyakit kolera.
Peran Tuwanku Hasyim terus berlanjut di masa pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939) yang juga masih berumur 7 tahun sewaktu pengangkatan sultan. Setelah Sultan dianggap dewasa dan tidak perlu lagi peran Wali, maka pada 1884 Tuwanku Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Sultan di Keumala Dalam (ibu kota Aceh Baru menggantikan Kutaraja) dan pulang ke Reubee. Kemudian pada 1886 beliau menetap di Padang Tiji hingga meninggal pada Jum'at, 22 Januari 1891 dan dimakamkan di pekarangan Masjid Tuha Padang Tiji.
Sejumlah uraian di atas seperti yang disebutkan oleh M. Adli Abdullah memang senada dengan kisah yang diuraikan oleh Drs. H. Nabhani, MBA, MM pernah menuliskan pada periode masa Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699), dimana Pemerintahan Aceh dipimpin oleh Sultanah seperti Sri Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675), Sri Sultanah Naqiatuddin Inayat Syah (1675 – 1678), Sri Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678 – 1688) dan Sri Sultanah Kamalat Syah Zinatuddin (1688 – 1699). Pada masa tersebut ada sebahagian paham Islam wanita tidak boleh menjadi pemimpin, maka untuk pendampingan kepala Pemerintahan dari Sultanah atau Ratu, diangkatlah Tgk. Syekh Abdul Rauf Al-Singkili sebagai Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam atau disebut juga Wali Nanggroe. Dengan kapasitas sebagai Ulama Besar dan memiliki otoritas keagamaan yang cukup kuat, setelah beliau meninggal Istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi.
Sementara itu hal sama juga disebutkan lagi oleh Nabhani, bahwa pada periode Kerajaan Aceh Darussalam (1870-1939) memasukan masa penjajahan Belanda, kepala pemerintahan Aceh dimasa itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah (1870-1874) yang berumur masih lebih kurang dari 12 tahun, sesudah itu meninggal. Digantikan oleh Sultan Daud Syah (1874-1939) yang umurnya baru lebih kurang 7 tahun, sehingga belum layak untuk menjadi pemimpin. Karena keduanya masih muda belia belum layak untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam maka diangkatlah Tuanku/Tuwanku Hasyem Banta Muda sebagai Waliul Mulki atau Wali Nanggroe untuk meneruskan kepemimpinan Sultan Alaiddin Ibrahim Syah. Sesudah Sultan Daud Syah dewasa dan layak memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Istilah Wali Nanggroe tidak dipakai lagi.
Dari uraian di atas, barulah kita bisa kembali sedikit bernostalgia dengan masa-masa perjuangan para pejuang Aceh era Tgk Chik Muhammad Saman (Tgk Chik Di Tiro), Teuku Umar, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dan sejumlah pejuang lainnya melawan Belanda dan Jepang. Pada masa tersebut untuk menyatukan pejuang-pejuang Aceh diseluruh ditetapkanlah seorang pemimpin untuk menjadi koordinator pejuang atau disebut juga sebagai Wali Nanggroe tapi bukan Kepala Pemerintahan karena Pemerintahan Kerajaan Aceh masih dipegang oleh Sultan Daud Syah.
Baru berlanjut pada masa DII/TII atau maraknya Negara Bagian Aceh (Negara Islam Indonesia) tahun 1953-1962, dimana 21 September 1955 dilaksanakan Kongres Batee Kureng di Bireuen yang dihadiri 100 orang (Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad menyebutkan 88 orang), dipimpin Tgk Amir Husein Al Mujahid. Forum itu memutuskan untuk mengangkat Tgk Daud Beureueh sebagai Wali Negara pertama bukan Wali Nanggroe. Sumber data dari buku The Price of Freedom, karangan Tgk Muhammad Hasan Di Tiro juga menyebutkan dirinya sendiri dalam hasil kongres tersebut, seperti tersebut berikut ini: Wali Negara Kedua yakni Tgk Amir Husein Al Mujahid dan Wali Negara Ketiga yaitu Tgk Muhammad Hasan Di Tiro (Adli Abdullah dalam tulisan Ampuh Devayan "Meretas Jejak Wali Nanggroe" menyebutkan bahwa dalam daftar dalam Piagam Bate Kureng, sama sekali tidak ada nama Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro).
Dalam piagam Batee Kureng menurut Kamaruzzaman dalam tulisannya "Misteri Gelar Wali Nanggroe" menyebutkan pada Bab III piagam tersebut dinyatakan bahwa (1) Wali Negara adalah titel dari Kepala Negara Bahagian dan merupakan kepala eksekutif negara; (2) Wali Negara dipilih oleh rakyat Negara Bahagian; (3) Pada sa'at lahirnya Piagam ini, Wali Negara yang pertama adalah Yang Mulia Tengkoe Moehammad Daoed Beureue-eh.
Adapun data mengenai Tgk. Muhammad Hasan di Tiro sebagai Wali Nanggroe (Nabhani menyebut Wali Negara bukan Wali Nanggroe, -pen) dapat ditemukan di dalam tulisannya yaitu Konsep-Konsep Kunci Ideologi Acheh Merdeka pada tanggal 26 Maret 1996. Di tulisan tersebut Tgk. Hasan menulis: "Saya telah menanda-tangani Surat Pernyataan Acheh/Sumatra Merdeka sebagai Negara Sambungan atau kelegalan Hak satu successor state sebab pada waktu ini sayalah yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tgk. Tjhik di Tiro menggantikan Yang Mulia Nenekanda Tengku Tjhik Majeddin dan Pamanda Tengku Tjhik Ma’at, yang gugur pada 3 Desember 1911, dalam perang melawan Belanda.” Tentu saja warga Aceh sejak tahun 1996 tidak pernah melakukan pemilihan umum untuk memilih Tgk. Hasan di Tiro sebagai Wali mereka. Ini pun jika dirujuk pada tatacara pemilihan Wali Nanggroe sebagaimana termaktub di dalam Piagam Bate Kureng, bab III.
Mungkin banyak lagi jika tulisan ini diteruskan, intinya adalah semoga benang kusut tadi bisa terurai. Beberapa penulis juga ada yang menyebutkan Wali Nanggroe = Wali Negara dan beberapa lainnya malah bertolakan. Penting juga lahirnya kongres sejarah pertalian Wali Negara dan Wali Nanggroe ini di Aceh. Setidaknya masing-masing penulis telah berikhtiar untuk sama-sama mengurai benang merah tadi.
Soal Wali Nanggroe kesembilan ini tidak perlu dibahas, kedelapan saja masih teng paneng hana jeulah. Apalagi dinasti baru yang akan terbentuk setelah 16 Desember juga tak lain Kerajaan Aceh Modern bukan perpanjangan tangan sejarah masa lampau. Nama wali memang identik dengan para auliabukan saya yang paham betul menempatkan diri dalam agama, masyarakat, serta posisi dalam menjaga tatanan nilai-nilai sosial budaya ke-Aceh-an.[]
Catatan: Datuk Machdum Sakti adalah kakek Teuku Umar yang pernah berjasa terhadap Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo dan punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.
Tersebutlah bahwa 16 Desember ini menjadi hari yang paling dinantikan orang di Aceh, hari dimana label Wali Nanggroe akan dinobatkan secara sakral ala sidang istimewa DPR Aceh bekerjasama dengan Pemerintahan Aceh dengan alokasi anggaran Rp 2,4 miliar yang sebelumnya heboh dengan Rp 50 miliar sehingga menjadi gosip sosial (media).
Konon nominal 2,4 miliar akan digunakan secara efisien, seperti efisiensi sewa tratak, konsumsi dan khanduri bagi undangan yang mencapai 5 ribu orang (rakyat jelata hingga kaum berdasi), hingga pengadaan nasi ketan untuk peusijuk (tepung tawar) di Pendopo, tempat dimana sultan Aceh dulu bersumpah dengan Belanda.
Yang tidak boleh ketinggalan adalah pengamanan, bukan pasukan berkuda atau sekaliber pejuang Aceh dulu yang dipersenjatai dengan peudeueng on jok (pedang daun ijuk), ingat seremonial ini akan terbilang modern dan jauh dari nilai-nilai sejarah dan budaya Aceh dahulu. Menurut Humas Machdum Sakti (Polisi) Daerah Aceh, Kombes Pol Gustav Leo siap menerjunkan 1.158 anggota keamanan dari berbagai satuan seperti Polisi Militer, TNI, Satpol PP dan Polisi.
Untuk menetralisir dan menghindari sejumlah gangguan, pihak pengamanan juga akan menutup ruas jalan untuk umum, dari T Nyak Arif, Simpang Lima sampai ke Simpang Jambo Tape Banda Aceh mulai pukul 08.00 sampai 12.00 WIB. Selain itu Pendopo juga dalam pengawasan pihak keamanan, yang tidak ketinggalan satgas
Wali dan Dinasti
Kini masuk ke inti dan misteri sejarah, ini bahan yang sangat berat dalam melepaskan benang merah yang sudah meuceu'ut-ceu'ut, tapi alhamdulillah sejarah Wali Nanggroe masih banyak bisa kita temukan referensi di internet tanpa harus saling menggurui atau digurui.
Karena memang kilas ini harus sedikit demi sedikit dituntaskan, maka kita kembali dulu sejenak dalam bahasan Cap Sikureueng (sembilan), sebuah stempel para Sultan dan Sultanah Aceh dari turun temurun yang sering kita temukan cap ini ada dalam sarakata, tapi lagi-lagi tidak semua sarakata yang beredar ada cap para raja.
Menyebutkan sarakata akan membawakan kita para peninggalan ratusan tahu lalu, apalagi kalau bukan manuskrip. Dalam manuskrip kita juga akan mudah melihat dan mendapat istilah atau nama jabatan-jabatan dalam pemerintahan semisal jabatan sultan, raja, perdana menteri, menteri, hulubalang, kadli (qadhi), bentara, panglima, kepala mukim, keuchik, waki keuchik, imam kampung, keujruen, bujang dan tuha peuet.
Tentang Wali Nanggroe salah satunya, jika merujuk pada sejumlah manuskrip bisa dikaji dulu dari naskah Adat Meukuta Alam. Naskah ini merupakan Hukum Dasar alias Konstitusi Tertulis Kerajaan Aceh Darussalam, yang konon dipakai sejak Sultan Iskandar Muda dan terus mengalami revisi oleh para sultan dan sultanah Aceh selanjutnya. Hal ini pernah disampaikan oleh T.A. Sakti, seorang penulis dan penyalin manuskrip Aceh.
Dalam Adat Meukuta Alam terdapat beberapa jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Kadli Malikul Adil, Raja Udah na Lela, Panglima Paduka Sinara, Sri Maharaja Indra Laksamana, Panglima Sagi, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Hulubalang Rama Setia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Bentara, Datu, Imum Mukim, Keujruen, Kechik.
Sementara dalam Hikayat Malem Dagang juga dijumpai beberapa nama jabatan pemerintah, Bujang, Teungku Pakeh, Maharaja Indra, (Panglima Pidie), Ja Ulama/Ja Madinah (Meureudu), Maharaja (Samalanga), Panglima, Tandi, Keuchik, Waki dan Peutua Nanggroe.
Naskah lainnya adalah Hikayat Akhbarul Karim yang dikarang oleh Teungku Seumatang menjelang Belanda menyerang Aceh tahun 1873. Isinya mencakup segala bidang agama Islam. Menurut kitab ini, seseorang memang telah ditentukan pangkatnya. Dalam kutipan berikut ini akan dijumpai beberapa jabatan yang sudah 'diadatkan' dikehendak Tuhan kepada seseorang, yaitu Nyang keu Nabi han keu umat/Nyang keu rakyat hankeu raja. Nyang keu Geusyik han keu Waki/Nyang keu Tandi han Bentara. Raja, Geusyik, Waki, Tandi dan Bentara adalah jabatan-jabatan pemerintahan masa kerajaan Aceh Darussalam. Tulis T.A. Sakti dalam sebuah tulisan "Menjaring Wali Nanggroe dalam Manuskrip".
Lalu ada juga naskah semisal Hikayat Abunawah. Isinya mengkritik pemerintahan Baghdad. Jabatan-jabatan pemerintahan yang dijumpai di dalamnya adalah Khalifah, Mentroe, Raja, Peurdana Meuntroe, Wazi, Uleebalang, Bentara, Datu dan Bujang. Dan yang terakhir ada Tazkirat Thabaqat. Naskah yang mengulas struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam; sejak level Keuchik sampai Sultan. Pertama ditulis pada masa Sultan 'Alaiddin Mahmud Alqahar (sebelum Sultan Iskandar Muda. Terakhir disalin Sayid Abdullah alias Teungku Di Mulek pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H. Ditulis jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Raja, Mangkubumi, Mufti, Perdana Menteri, Kadli Malikul Adil, Menteri, Raja Mudasyah Bandar, Hulubalang, Tandi Kawal, Panglima Laot, Panglima Meugoe, Kuejruen Blang, Keuchik, Waki Keuchik, Teungku Sagoe, empat orang wakil Teungku Sagoe dan Tuha Peuet.
Dari beberapa manuskrip di atas, ternyata tidak ada satu naskah pun yang menyebut lembaga Wali Nanggroe. Hanya istilah Peutua Nanggroe, yang dapat kita temukan dalam hikayat Malem Dagang. Ketika perjalanan lewat darat sultan Iskandar Muda ke Peusangan, beliau bertanya kepada pemimpin masyarakat di sana, "Padum na kapai di gata sinoe. Tapeugah bak kamoe sigra-sigra, kapai tuanku lah ka neu tanyong, kapai limong di sinoe nyang na. Kricit narit Peutua Nanggroe, ureueng mat sagoe muhon bak raja. Ampon tuanku cahi 'alam, seumah laman duli sarpada. Kamoe bek neuba bak prang timu. Bek unoe juho prang Malaka. Kamoe tuanku sinoe neu keubah. Meudrop-drop gajah keupo meukuta".
Hanya saja itu masih beberapa naskah manuskrip, masih ada puluhan manuskrip lain yang mungkin saja memuat tentang perihal Wali Nanggroe. Namun, jangan salah dalam produk sejarah Aceh kontemporer seperti termaktub dalam buku yang ditulis M. Nur El Ibrahimy berjudul "Tgk. M. Daud Beureu-eh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh" terdapat 6 buah lampiran yang menyebut jabatan Wali Negara. Semua surat-surat, seruan, pengumuman atas nama Wali Negara itu ditandatangani oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Besar kemungkinan istilah Wali Negara itulah yang akhirnya diterjemah ke bahasa Aceh menjadi Wali Nanggroe.
Hal lain lagi tentang Wali Nanggroe pernah dilontarkan oleh M Adli Abdullah, salah satu pemerhati sejarah dan peradaban Aceh. Dalam tulisannya "Kisah Wali Nanggroe" menyebutkan istilah Wali (mungkinkah ini penerjemahan dari Kadli Malikul Adil, -pen) pengambilan muncul pada saat Aceh dipimpin Sultanah Shafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678 M), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688), dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu, Wali Nanggroe Aceh dijabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi/Kadli Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditabalkan untuk ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi. Namun, setelah Syekh Abdurrauf As-Singkili meninggal, istilah Wali tak terdengar lagi. Bahkan, Sultanah Kamalatsyah pun diturunkan atas "fatwa politik ulama Mekkah" dan sejak saat itu Aceh kembali dipimpin oleh dinasti Jamalullail dari Arab (1699-1727).
Istilah Wali muncul kembali pada 1870 ketika Tuwanku Hasyim Bangta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak diangkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia. Tak lama kemudian atau tepatnya pada 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh. Tuwanku Hasyim berupaya menyelamatkan wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmud Syah yang masih kecil ke Lueng Bata, Kutaraja (sekarang Banda Aceh-ed.) hingga mengembuskan napas terakhir pada 28 Januari 1874, terkena penyakit kolera.
Peran Tuwanku Hasyim terus berlanjut di masa pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939) yang juga masih berumur 7 tahun sewaktu pengangkatan sultan. Setelah Sultan dianggap dewasa dan tidak perlu lagi peran Wali, maka pada 1884 Tuwanku Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Sultan di Keumala Dalam (ibu kota Aceh Baru menggantikan Kutaraja) dan pulang ke Reubee. Kemudian pada 1886 beliau menetap di Padang Tiji hingga meninggal pada Jum'at, 22 Januari 1891 dan dimakamkan di pekarangan Masjid Tuha Padang Tiji.
Sejumlah uraian di atas seperti yang disebutkan oleh M. Adli Abdullah memang senada dengan kisah yang diuraikan oleh Drs. H. Nabhani, MBA, MM pernah menuliskan pada periode masa Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699), dimana Pemerintahan Aceh dipimpin oleh Sultanah seperti Sri Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675), Sri Sultanah Naqiatuddin Inayat Syah (1675 – 1678), Sri Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678 – 1688) dan Sri Sultanah Kamalat Syah Zinatuddin (1688 – 1699). Pada masa tersebut ada sebahagian paham Islam wanita tidak boleh menjadi pemimpin, maka untuk pendampingan kepala Pemerintahan dari Sultanah atau Ratu, diangkatlah Tgk. Syekh Abdul Rauf Al-Singkili sebagai Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam atau disebut juga Wali Nanggroe. Dengan kapasitas sebagai Ulama Besar dan memiliki otoritas keagamaan yang cukup kuat, setelah beliau meninggal Istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi.
Sementara itu hal sama juga disebutkan lagi oleh Nabhani, bahwa pada periode Kerajaan Aceh Darussalam (1870-1939) memasukan masa penjajahan Belanda, kepala pemerintahan Aceh dimasa itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah (1870-1874) yang berumur masih lebih kurang dari 12 tahun, sesudah itu meninggal. Digantikan oleh Sultan Daud Syah (1874-1939) yang umurnya baru lebih kurang 7 tahun, sehingga belum layak untuk menjadi pemimpin. Karena keduanya masih muda belia belum layak untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam maka diangkatlah Tuanku/Tuwanku Hasyem Banta Muda sebagai Waliul Mulki atau Wali Nanggroe untuk meneruskan kepemimpinan Sultan Alaiddin Ibrahim Syah. Sesudah Sultan Daud Syah dewasa dan layak memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Istilah Wali Nanggroe tidak dipakai lagi.
Dari uraian di atas, barulah kita bisa kembali sedikit bernostalgia dengan masa-masa perjuangan para pejuang Aceh era Tgk Chik Muhammad Saman (Tgk Chik Di Tiro), Teuku Umar, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dan sejumlah pejuang lainnya melawan Belanda dan Jepang. Pada masa tersebut untuk menyatukan pejuang-pejuang Aceh diseluruh ditetapkanlah seorang pemimpin untuk menjadi koordinator pejuang atau disebut juga sebagai Wali Nanggroe tapi bukan Kepala Pemerintahan karena Pemerintahan Kerajaan Aceh masih dipegang oleh Sultan Daud Syah.
Baru berlanjut pada masa DII/TII atau maraknya Negara Bagian Aceh (Negara Islam Indonesia) tahun 1953-1962, dimana 21 September 1955 dilaksanakan Kongres Batee Kureng di Bireuen yang dihadiri 100 orang (Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad menyebutkan 88 orang), dipimpin Tgk Amir Husein Al Mujahid. Forum itu memutuskan untuk mengangkat Tgk Daud Beureueh sebagai Wali Negara pertama bukan Wali Nanggroe. Sumber data dari buku The Price of Freedom, karangan Tgk Muhammad Hasan Di Tiro juga menyebutkan dirinya sendiri dalam hasil kongres tersebut, seperti tersebut berikut ini: Wali Negara Kedua yakni Tgk Amir Husein Al Mujahid dan Wali Negara Ketiga yaitu Tgk Muhammad Hasan Di Tiro (Adli Abdullah dalam tulisan Ampuh Devayan "Meretas Jejak Wali Nanggroe" menyebutkan bahwa dalam daftar dalam Piagam Bate Kureng, sama sekali tidak ada nama Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro).
Dalam piagam Batee Kureng menurut Kamaruzzaman dalam tulisannya "Misteri Gelar Wali Nanggroe" menyebutkan pada Bab III piagam tersebut dinyatakan bahwa (1) Wali Negara adalah titel dari Kepala Negara Bahagian dan merupakan kepala eksekutif negara; (2) Wali Negara dipilih oleh rakyat Negara Bahagian; (3) Pada sa'at lahirnya Piagam ini, Wali Negara yang pertama adalah Yang Mulia Tengkoe Moehammad Daoed Beureue-eh.
Adapun data mengenai Tgk. Muhammad Hasan di Tiro sebagai Wali Nanggroe (Nabhani menyebut Wali Negara bukan Wali Nanggroe, -pen) dapat ditemukan di dalam tulisannya yaitu Konsep-Konsep Kunci Ideologi Acheh Merdeka pada tanggal 26 Maret 1996. Di tulisan tersebut Tgk. Hasan menulis: "Saya telah menanda-tangani Surat Pernyataan Acheh/Sumatra Merdeka sebagai Negara Sambungan atau kelegalan Hak satu successor state sebab pada waktu ini sayalah yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tgk. Tjhik di Tiro menggantikan Yang Mulia Nenekanda Tengku Tjhik Majeddin dan Pamanda Tengku Tjhik Ma’at, yang gugur pada 3 Desember 1911, dalam perang melawan Belanda.” Tentu saja warga Aceh sejak tahun 1996 tidak pernah melakukan pemilihan umum untuk memilih Tgk. Hasan di Tiro sebagai Wali mereka. Ini pun jika dirujuk pada tatacara pemilihan Wali Nanggroe sebagaimana termaktub di dalam Piagam Bate Kureng, bab III.
Mungkin banyak lagi jika tulisan ini diteruskan, intinya adalah semoga benang kusut tadi bisa terurai. Beberapa penulis juga ada yang menyebutkan Wali Nanggroe = Wali Negara dan beberapa lainnya malah bertolakan. Penting juga lahirnya kongres sejarah pertalian Wali Negara dan Wali Nanggroe ini di Aceh. Setidaknya masing-masing penulis telah berikhtiar untuk sama-sama mengurai benang merah tadi.
Soal Wali Nanggroe kesembilan ini tidak perlu dibahas, kedelapan saja masih teng paneng hana jeulah. Apalagi dinasti baru yang akan terbentuk setelah 16 Desember juga tak lain Kerajaan Aceh Modern bukan perpanjangan tangan sejarah masa lampau. Nama wali memang identik dengan para aulia
Catatan: Datuk Machdum Sakti adalah kakek Teuku Umar yang pernah berjasa terhadap Sultan Machmud Syah yang lebih dikenal dengan Sultan Buyung. Datuk Machdum Sakti waktu itu adalah penguasa daerah Meureubo dan punya dua putra, Nantan Seutia dan Akhmad Mahmud. Teuku Akhmad Mahmud merupakan orang tua Teuku Umar.
Komentar