Beberapa spot menarik dan terlebih baru, sudah menjadi rahasia umum di Banda Aceh dan Aceh Besar akan bernilai wisata karena tersebarnya foto-foto nan cantik, wabil khusus itu berhubungan dengan alam.
Ya, alam bebas, alam liar dan alam pertualangan tentu akan menjadi alasan orang-orang yang relatif berusia tanggung hingga usia yang tidak tanggung lagi untuk berkunjung.
"Jangan dipublish lah foto-foto keren gitu, itu kan nantinya akan semak dan menjadi tempat sampah," komentar mereka-mereka yang biasanya menikmati foto-foto di Instagram atau Facebook.
Tidak hanya sebatas itu, komentar lainnya juga tentu banyak menciutkan naluri oleh sebagian netizen di Aceh menganggap keindahan alam yang diekspos begitu wah dan rame pada ujung-ujung akan menuai kontroversi, baik masyarakat setempat, hingga dengan keberadaan anak-anak gaul yang tak peduli lingkungan.
"Kalau itu tempat sudah rame, otomatis anak-anak gaul akan banyak buat selfie," komentar datar-datar.
Ada lagi yang lebih dari datar, " jangan di share donk ah, nanti dirusak sama anak gaul gimana, corat coret, tinggalin sampah, rusak tumbuhan disana, kan kasian," kata @AdaniMuhammad di akun IG-nya mengomentari salah satu foto di ATwitLovers.
Anak Gaul dan Mahasiswa
Siapa sangka, anak-anak gaul yang digadang-gadang sumber dari rusaknya pemandangan tempat-tempat wisata itu adalah mereka yang berstatus mahasiswa, ada juga mahasiswa yang melabelkan diri dengan pecinta alam, bahkan ada yang berani dengan menyebut diri Mapala dari kampus A, B, hingga Z.
Baru-baru ini, salah satu netizen di Facebook bernama Rizki Wahidin Adam juga mengunggah foto-foto yang menjadi sorotan dari anak-anak gaul tersebut, seperti yang terlihat di wisata alam Lhok Keutapang, Aceh Besar. Yang konon itu juga disebut-sebut sebagai tempat tersembunyi dan "perawan" dari pandangan manusia, tapi tidak tersembunyi di pandangan penjarah hutan hewan liar.
Reunian nih ceritanya? Tapi sayang ini bukan bukit di Gua Hira. |
ODC ini seperting singkatan nama klub selam, apa benar? |
Angga Rodec harus bertanggung jawab, setidaknya bawa sikat untuk menghapus jejak. |
Ini kebatuan, karena kelautan seharusnya di laut bukan? |
Sayang lagi, institusi pendidikan jadi terjarah namanya oleh mereka. Sungguh terlalu dan disayangkan,
Ini hanya bagian kecil dari tindakan vandalisme, masih banyak komponen lainnya yang terkadang menjadi sesuatu yang biasa dikalangan mereka yang sering disebut-sebut sebagai "anak gaul", sampah yang berceceran seperti yang sempat terjuat dari air terjun Kuta Malaka, Bukit Lamreh, dan masih banyak lainnya.
Adakah Solusi
Bicara soal solusi pasti ada atas setiap masalah yang terjadi di lingkungan, datang lalu pungut atau bawa sikat untuk menghapus itu semua dan balut menjadi kegiatan bakti sosial.
Lalu datang lagi "anak gaul" mencemari dan mengotori, buat lagi bakti sosial dan begitu seterusnya yang pada intinya masyarakat setempat belum ambil peran.
Langkah lainnya, ajak masyarakat sekitar peduli dengan potensi alam, ngopi, ngobrol, edukasi dan pelan-pelan biasanya akan menyadari disanalah potensi, bukan potensi untuk menutup diri terlebih menutup tempat indah tersebut.
Mengajak masyarakat dalam sebuah edukasi dengan potensi wisata bukan perkara mudah, tidak seperti memberikan pelatihan dan workshop lalu bisa dipraktekkan begitu saja, memahami psikologi itu juga menjadi nilai penting yang tak boleh terlewatkan.
Kehadiran masyarakat sadar wisata dan mereka tahu akan potensi alam kelak akan menghindari terjadinya vadalisme ditempat wisata, dan hal-hal yang tidak diingikan lainnya.
Solusinya lainnya, pemerintah setempat ambil alih dan tentunya juga melibatkan masyarakat setempat. Namun solusi yang ini akan sedikit memakan waktu dan jadi angin berlalu.
Lalu solusi lainnya? Masih banyak tentunya. Mungkin Anda bisa memaparkan yang lebih anti-mainstream untuk menghindari tangan-tangan jahil "anak gaul" tersebut? Sila berbagi.[]
Komentar