Turut berduka cita atas berpulangnya kerahmatullah Syeh Rih Meureudu, Sabtu (25 Mei 2013) di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh. Syeh Rih juga salah satu maestro seudati di Aceh yang terkenal dengan prestasi besar untuk mengenalkan tarian ini hingga keberbagai negara di dunia bersama rekan-rekannya yang lain.
Mereka-mereka yang terkenal dengan kepopulerannya dalam membawakan tari Seudati (seni daerah Aceh) ini seperti Syeh Lah Geunta, Syeh Lah Banguna, Syeh Rih Muda (Meureudu), T Abu Bakar, Syeh Jafar, Syeh Muktar, Alamsyah, Marzuki (dosen dan koreografer tari seudati di Institut Kesenian Jakarta) dan Nurdin Daud.
Mereka-mereka ini dulu pernah tampil di Amerika, mulai dari San Fransico, Atlanta, Iowa, sampai di New York. Disetiap negara bagian mereka melakukan pertunjukan tiga malam, kecuali pada acara puncak di New York sepuluh malam.
Setelah pertunjukan usai, penonton disana tidak berhenti bertepuk tangan, layar yang sudah diturunkan, dinaikkan kembali sampai tiga kali. Mereka terkesima, melihat irama rap dalam syair seudati. Mereka geleng geleng kepala, tak habis pikir ketika ketip jari, tepuk dada dan hentak kaki, jadi irama syair seudati yang begitu cepat nada dan hentakannya.
Tahun 1992, mereka juga melakukan pertunjukan di Spanyol selama 20 hari pada acara Expo dunia di Kota Sevilla. Tahun 1994 melakukan pertunjukan di Belanda selama 22 hari. Pulang dari sana berulang kali melakukan pertunjukan di negara-negara ASEAN.
Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) keempat Agustus 2004. Syeh Rih Meureudu melatih pejabat teras di Pemerintahan Aceh untuk main seudati. Ia bersama Gubernur Abdullah Puteh melakukan seleksi para kepala dinas dan pejabat eselon untuk dilatih seudati. Sementara Syeh Lah Banguna melatih siswa di beberapa sekolah di Banda Aceh.
Pada tahun itu Syeh Lah Banguna juga mendapat undangan dari Art Network Asia ke Singapura untuk mengisi kreasi tari seudati dalam tari asia serumpun. Namun ia gagal berangkat karena tidak adanya biaya.
Lalu, kini dimana Seudati itu? Komunitas Cinta Seudati juga kini meredup. Semangat muda-mudi Aceh juga seperti hilang lagi. Tidak ada yang salah, hanya saja waktu belum berpihak kuat untuk mentalitas kita (termasuk saya mungkin) dalam menjunjung tinggi nilai seni ini.[]
Disadur ulang dari tulisan yang berjudul "Banguna: Heroisme Teramputasi" oleh Iskandar Normal.
Mereka-mereka yang terkenal dengan kepopulerannya dalam membawakan tari Seudati (seni daerah Aceh) ini seperti Syeh Lah Geunta, Syeh Lah Banguna, Syeh Rih Muda (Meureudu), T Abu Bakar, Syeh Jafar, Syeh Muktar, Alamsyah, Marzuki (dosen dan koreografer tari seudati di Institut Kesenian Jakarta) dan Nurdin Daud.
Mereka-mereka ini dulu pernah tampil di Amerika, mulai dari San Fransico, Atlanta, Iowa, sampai di New York. Disetiap negara bagian mereka melakukan pertunjukan tiga malam, kecuali pada acara puncak di New York sepuluh malam.
Setelah pertunjukan usai, penonton disana tidak berhenti bertepuk tangan, layar yang sudah diturunkan, dinaikkan kembali sampai tiga kali. Mereka terkesima, melihat irama rap dalam syair seudati. Mereka geleng geleng kepala, tak habis pikir ketika ketip jari, tepuk dada dan hentak kaki, jadi irama syair seudati yang begitu cepat nada dan hentakannya.
Tahun 1992, mereka juga melakukan pertunjukan di Spanyol selama 20 hari pada acara Expo dunia di Kota Sevilla. Tahun 1994 melakukan pertunjukan di Belanda selama 22 hari. Pulang dari sana berulang kali melakukan pertunjukan di negara-negara ASEAN.
Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) keempat Agustus 2004. Syeh Rih Meureudu melatih pejabat teras di Pemerintahan Aceh untuk main seudati. Ia bersama Gubernur Abdullah Puteh melakukan seleksi para kepala dinas dan pejabat eselon untuk dilatih seudati. Sementara Syeh Lah Banguna melatih siswa di beberapa sekolah di Banda Aceh.
Pada tahun itu Syeh Lah Banguna juga mendapat undangan dari Art Network Asia ke Singapura untuk mengisi kreasi tari seudati dalam tari asia serumpun. Namun ia gagal berangkat karena tidak adanya biaya.
Lalu, kini dimana Seudati itu? Komunitas Cinta Seudati juga kini meredup. Semangat muda-mudi Aceh juga seperti hilang lagi. Tidak ada yang salah, hanya saja waktu belum berpihak kuat untuk mentalitas kita (termasuk saya mungkin) dalam menjunjung tinggi nilai seni ini.[]
Disadur ulang dari tulisan yang berjudul "Banguna: Heroisme Teramputasi" oleh Iskandar Normal.