Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang. Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra, ia mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan (Semi,1984 : 52). Karya sastra merupakan refleksi zaman yang mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Pandangan dunia pengarang merupakan interaksi dari pandangan pengarang dengan kelompok sosial masyarakat di sekitar pengarang. Hikayat Prang Kumpeni, adalah karya sastra yang membawa nilai-nilai sosial budaya dan kehidupan sosial yang biasa terjadi dalam masyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap konteks sosial Hikayat Prang Kumpeni yang latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam Hikayat Prang Kumpeni dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Sasaran penelitian ini adalah realita sosial yang terdapat dalam naskah Hikayat Prang Kumpeni, pengaruh latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam Hikayat Prang Kumpeni.
Sumber data tulisan ini adalah Hikayat Prang Kumpeni. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hikayat Prang Kumpeni, memiliki tokoh utama sebagai tokoh problematik pengarang sendiri yaitu Dokarim yakni Abdulkarim dari Glumpang Dua Mukim VI Wilayah XXV yang memiliki latar cerita di Aceh, yaitu. Adapun tema cerita dalam Hikayat Prang Kumpeni tersebut adalah kehidupan sosial dalam masyarakat yang meliputi kehidupan sang pengarang. Bahkan masalah-masalah yang terdapat dalam Hikayat Prang Kumpeni mempunyai hubungan yang erat dengan latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang saat hikayat tersebut diciptakan oleh pengarang.
Dari analisis diatas diperoleh, pandangan dunia pengarang tentang, ekonomi, budaya, dan politik serta berupa solusi-solusi atas permasalahan yang dihadapi Dokarim sebagai tokoh problematik yaitu sebagai tokoh pengarang yang tidak dapat membaca atau menulis, akan tetepi lambat laun selama lima tahun dikarangnya puji-pujian mengenai perjuangan warga Aceh yang gagah berani dalam melawan Belanda berdasarkan keterangan saksi mata. Sebelum lenyap dari ingatannya membuat dia populer sehingga ia sering membacakan karya itu dengan imbalan yang lumayan. Masalah si pengarang yang tidak bisa membaca dan menulis tidak dipersoalkan, karena kondisi Aceh pada masa itu selalu dalam kondisi peperangan sehingga tidak adanya pembelajaran khusus, sehingga harus didaatkan pendidikan melalui pengamatan, dan lebih banyak mengetahui melalui orang lain.
Isi Ringkas Hikayat Prang Kumpeni
Hikayat Prang Kumpeni merupakan salah satu hikayat Aceh yang dikarang oleh dokarim, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat Aceh yang hidup pada masa Aceh berperang melawan kolonial Belanda. Hikayat ini merupakan salah satu hikayat yang tergolong dalam syair ke pahlawanan orang Aceh atau disebut dengan puisi epik. Dalam hikayat ini penyair menggunakan kesempatan menjelaskan pahala perang syahid, dengan mengingatkan pendengarnya bahwa perang serupa itu hanya bisa dilangsungkan secara sukses dengan penaatan kepercayaan yang sejati dan sejumlah besar upaya-upaya yang baik. Di sini pengarang menukilkan dan menuturkan legenda Panglima Tibang [Ia meninggal tahun 1895 setelah karya tersebut dituliskan].
Panglima Tibang ini seorang kelahiran Hindu, yang pada masa mudanya datang bersama rombongan tukang sihir dari daerah asalnya ke Aceh. Kecepatan dan kepintarannya menarik perhatian seorang tokoh penguasa di Pantai Timur, dan ia menetap di Aceh, mula-mula menjadi pengikut tokoh penguasa itu untuk selanjutnya mengabdi pada Sultan. Ia masuk Islam, bukan karena kepercayaan melainkan untuk memudahkan jalannya. Ia mendapat kepercayaan dari Sultan Ibrahim dan Sultan Mahmud, dan bahkan diangkat jadi syahbandar ibukota. Para panglima utama yang berjuang di bawah pimpinan Teuku Asan adalah Nya' Bintang, Teuku Usen dari Pagaraye, saudaranya Teuku Ali, dan Teuku Usen dari Lueng Bata, saudara imam mukim Lueng Bata. Kepada kita diceritakan tentang kemahiran perang mereka biasanya menyerbu konvoi perlengkapan.
Menurut penyair, Teungku Tiro juga mempunyai peran aktif dalam melawan kumpeni. Upaya aktif Teungku Tiro memerangi kompeni pada saat itu diberi variasi dengan penjelajahannya seputar XXVI Mukim dan bagian lainnya dari daerah Aceh yang bertujuan memberikan pengajaran dan peringatan, bagi para tokoh penguasa maupun rakyat banyak.
Nada ucapan penuh kuasa yang dipakainya menimbulkan rasa benci di pihak para hulubalang wilayah-wilayah yang dilintasinya, tetapi mereka tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengekang pengaruh besar yang dimiliki sang ulama.
Di sini penyair juga menjelaskan tentang Teungku Kuta Karang berbeda pandangan dengan para ulama lainnya karena ia mengizinkan para pengikutnya membuka pergaulan dengan orang-orang yang tinggal "di dalam garis". Tujuannya dalam hal ini adalah meningkatkan dana perang sabil, mengumpulkan informasi tentang gerakan kompeni, dan memberi kesempatan bagi para prajurit gagah berani untuk melakukan serangan mendadak atas pasukan Belanda.
Pada penutup puisi (1891) kompeni sibuk menghentikan semua impor sehingga membuat kesal rakyat yang tinggal di dalam linie. Ringkasan di atas kiranya cukup memadai untuk menunjukkan semangat penyair, yakni semangat masyarakatnya. Hikayat Prang Kumpeuni patut mendapat perhatian yang sama besar mengingat aktualitasnya(Hurgronje,1997).
Analisis Sosiologi Sastra Pada pada Hikayat Prang Kumpeni
Karya sastra dipandang sebagai refleksi zaman yang mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau kelompok sosial tertentu, merupakan produk interaksi antara pengarang dengan situasi sekitarnya.
Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Hubungan antara pengarang, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari, bahkan sesuatu yang sah untuk dipermasalahkan. Karya sastra diciptakan tidak hanya dari imajinasi pribadi pengarang tetapi juga dari peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga karya sastra dapat dikatakan sebagai cermin atau rekaman budaya masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, dan merupakan produk masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat (wolf,1989:1).
Menurut Damono Karya sastra bukanlah gejala tersendiri yang muncul begitu saja, tetapi setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh yang rumit dari faktor sosial dan kultur (Damono,1978:4). Konteks sosial hikayat merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala gejala sosial di yang terjadi sekitarnya.
Untuk mengkaji hikayat ini penulis menggunakan pendekatan Sosiologi sastra, karena hikayat ini merupakan karya sastra lama yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Aceh dan ada pandangan yang kuat dari masyarakat Aceh pada masa itu, hikayat ini juga memiliki nilai seni yang tergolong dalam unsur kebudayaan, baik dari segi syairnya maupun bacaannya. Naskah Hikayat Prang Kumpeni merupakan suatu bentuk sastra lama Aceh, dan tentunya dalam bahasa Aceh. Khalayaknya terbatas pada orang-orang Aceh dan orang-orang Aceh yang berdiam di kampung, mereka yang bertujuan dalam melakukan peperangan untuk mempertahankan Aceh dari penjajahan Belanda. Menurut Dokarim sang pengarang bahwa naskah yang berjudul Hikayat Prang Kumpeni mengisahkan konflik peperangan yang terjadi antara masyarakat Aceh pada masa itu dengan Belanda adanya hubungan interaksi di dalamnya yaitu antar sesama masyarakat Aceh. Kisah-kisah dalam hikayatnya dia ambil dari berbagai pengamatan pengarang yang disaksikan sendiri saat terjadinya perang Aceh, bahkan kemudian ditulis menjadi tulisan sebuah hikayat untuk mengetahui sejarah dan budaya yang terjadi pada masa itu.
Hikayat ini mempunyai sambutan luas dari berbagai masyarakat Aceh, karena selain sebagai sumber sejarah hikayat ini juga berfungsi untuk membangkitkan semangat perang rakyat Aceh pada masa itu, karena di dalamnya juga mengandung semangat jihad dalam berperang melawan kafir, Hikayat Prang Kumpeni adalah suatu karya yang menunjukkan sifat khas pengarang, mereka yang menyukainya menjuluki si pengarangnya dengan julukan “teungku”. Dalam bukunya Adat Aceh mengatakan bahwa naskah ini sering di hafal oleh sang penyair, sehingga karena keindahan syair yang dibacakan oleh sang pengarang maka hikayat yang dari bentuk lisan dicatat oleh penulis amatir yang sering mendengarkannya, dan dibukukan menjadi naskah tulisan (Hurgronje, 1997:)
Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengetahui kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo 1995:99–100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Hikayat yang mampu menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah masyarakat tergolong sebagai hikayat yang baik, karena pada dasarnya, hikayat adalah pengetahuan realita non ilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu masyarakat (Wellek 1990:94). Karya sastra merupakan karya imajinatif yang diciptakan dari kesan danpengetahuan serta pengalaman sastrawan.
Kaitan sastra imajinatif dengan fakta kehidupan atau realitas kehidupan memang berhubungan, karena pengertian karya sastra itu sendiri adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi 1988:8).
Kepustakaan
- Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
- Damono, sapardi djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.
- Hurgronje, C. Snouck. 1997. Aceh dan Adat Istiadats. Jilid II. Jakarta: INIS.
- Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.
- Suharianto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
- Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
- Wolf, Janet. 1989. The Social Production Of Art. Amerika: New York University Press.
Judul asli REALITA SOSIAL PADA HIKAYAT PRANG KUMPENI ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA. Ditulis oleh Istiqamatunnisak (istiqamatunnisak@yahoo.co.id), Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia, Minat Filologi, 2010/2011.
Komentar