Dari kecil saat memori di otak mulai merekam sisi kehidupan, kita mulai mengenal benda-benda asing. Termasuk gajah salah satunya.
Kalau ditanya apa itu gajah, rata-rata kita akan ingat dengan binatang besar, punya belalai, gading yang kokoh, dan kekuatan yang luar biasa.
Pasti itu belum lengkap, gajah memang memiliki ciri yang lebih khusus lagi tergantung daerah dan tempat dimana dia dibesarkan oleh alam.
Gajah Sumatera misalnya atau yang dikenal dengan Elephas maximus sumatrensis, seperti dikutip dari WWF Indonesia, gajah Sumatera yang jantan memiliki ciri fisik yang relatif lebih pendek jika dibandingkan sub-species gajah lainnya, sedangkan gajah betina memiliki gading yang sangat pendek dan tersembunyi di balik bibir atas. Ketahanan hidup gajah cenderung berbeda-beda. Gajah-gajah yang dipelihara dengan baik mampu bertahan hidup hingga 70 tahun, sedangkan di alam bebas dengan kondisi ancaman yang tinggi – usianya bisa lebih singkat. Tinggi gajah jantan Sumatra dewasa bisa mencapai antara 1,7 – 2,6 meter.
Gajah Sumatera adalah salah satu dari sub-spesies gajah Asia dan semua gajah Asia digolongkan sebagai satwa terancam punah (endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Gajah Sumatera menghadapi ancaman serius berupa aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Kelangsungan hidup populasi gajah ini dalam jangka panjang terancam oleh cepatnya konversi hutan menjadi perkebunan dan tanaman komersial. Saat ini populasi gajah Sumatera adalah antara 2,400 – 2,800 ekor.
Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya. Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam.
Tidak hanya itu berbagai ancaman sering kali mengancam gajah saat ini, ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan dan disusul akibat perburuan dan perdagangan liar. Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.
Lagi-lagi kabar menyedihkan juga datang dari Aceh, gajah mati karena diracun dan tidak berapa lama kejadian juga menimpa lagi, namun lebih parah lagi gadingnya pun hilang dan raib entah kemana.
Gajah Putih dari Aceh
Padahal gajah dan Aceh sejak masa raja-raja dulu sangat identik dan benar-benar begitu dijaga serta dirawat. Kawasan Blang Padang, Banda Aceh salah satunya merupakan daerah dimana gajah-gajah dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat dan berkumpul bersama para pasukannya (baca: pasukan gajah) dan termasuk dalam area pelatihan.
Namun, gajah yang sering kita kenal dengan warna gelap atau hitam itu di Aceh malah ada gajah putih. Konon cerita yang kita tahu gajah putih sering dikaitkan dengan gajah dari negera Thailand. Padahal Aceh sendiri punya julukan sendiri untuk binatang berbadan besar ini, apalagi kalau bukan Bumi Gajah Putih yang dikenal dengan dataran tinggi Gayo yang kini disebut kawasan Bener Meriah.
Kerajaan Linge dan Kerajaan Aceh Darussalam telah mencatat sejarah begitu baik lewat hadirnya gajah putih yang ditemukan di hutan-hutan dataran tinggi Gayo. Pada masa itu gajah putih menjadi pertanda dan kemegahan bagi raja-raja, sampai-sampai di Aceh pun lambang atau simbol untuk Kodam Iskandar Muda tetap menggunakan gajah putih.
Tidak hanya sejarah, lewat gajah putih itu pula melahirkan seni yakni lewat tari Guel. Benar-benar menakjubkan, dari seekor gajah yang begitu dijaga dan dirawat bisa memberikan nilai-nilai luhur yang begitu berharga bagi sebuah daerah atau negeri.
Memang tidak ada peringatan hari gajah, tapi kita tahu bahwa dalam setahun ada Hari Binatang Sedunia. Namun, bukan tidak mungkin Aceh punya cerita sendiri dengan gajah. Dan dulu pada jaman Nabi juga malah dikenal dengan tahun gajah. Jika kita mampu menjaga dan melestarikan populasi yang semakin langka ini, kenapa tidak dalam setiap hari kita bisa memperingatinya tanpa harus menunggu setahun sekali.
Bagaimana caranya? salah satunya menulis tentangnya, bercerita tentang populasinya, mengedukasi masyarakat untuk tidak memusuhi apalagi sampai memburu gajah sampai mati. Dan masih banyak cara lainnya yang bisa kita lakukan, karena bisa jadi gajah di Aceh pada khususnya dan Sumatera pada umumnya ke depan akan menjadi sejarah dan ikon/simbol semata jika kita tidak pernah sadari dari sekarang untuk menjaganya bersama.[]
Mengatakan dan mengkampanyekan 'selamatkan gajah Aceh' atau #saveAcehElephant tidak cukup, tapi setidaknya kita telah bergerak hati untuk hidup di alam ini bersama mereka demi kehidupan dan hak asasi binatang yang juga penting seperti hak asasi manusia.
Komentar