Oleh: Erond L. Damanik
Sumatera menurut William Marsden (seorang Inggris yang bekerja sebagai sekretaris di Benteng Marlborough, Bengkulu) adalah sebuah tempat yang paling sedikit diketahui dari semua tempat di dunia yang dapat dijangkau.
Pada 1779, setelah delapan tahun bertugas di Bengkulu, Marsden kembali ke London dan mulai menulis pengamatannya terhadap seluruh aspek pulau Sumatra. Pada waktu memulai menulis karyanya yang terkenal itu, “The History of Sumatra” (terbit tahun 1783), William Marsden mengemukakan pernyataanya tentang identitas Pulau Sumatra.
Marsden menulis: “banyak penulis mendeskripsikan identitas Pulau Sumatera dalam berbagai karangan dan kisah mereka. Akan tetapi pendeskripsian mereka yang hanya melalui kata-kata itu belum mampu melukiskan identitas Pulau Sumatera. Pendeskripsian itu tidak dapat menunjukkan betapa kaya dan magisnya Pulau Sumatera kepada khalayak umum”.
Salah satu keunggulan buku tersebut adalah sebagian besar isinya didasarkan pada pengamatan cermat Marsden. Sedangkan selebihnya merupakanb pendapat umum dari pegawai berpengaruh di East India Company (EIC) tempat Marsden bekerja. Pengamatan itu tampak pada pengetahuannya yang luas terhadap bahasa, gagasan, adat istiadat, geografi, botani dan zoologi Pulau Sumatra.
“Sri Sultan Perkasa Alam Johan berdaulat raja yang mengampukan perbendaharaan daripada seni mas dan seni perak dan daripada galian mas yang dalam negeri Priaman pada gunung negeri Salida yang berpayung mas bertimbalan yang beratnya beratus kati, yang berpeterana mas yang berchiu mas, raja yang mengampukan kuda yang berpelana emas, yang berumbai-rumbaikan mas dan beratnya beratus kati, yang bersekang mas permata”.
Hingga abad-17, menurut Anthony Reid (1992) daerah Minangkabau di Sumatera bagian tengah merupakan daerah yang paling kaya akan emas di seluruh kawasan itu pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Emas ditapis dari pasir sungai-sungai di sebelah timur dan tambang di bukit-bukit Minangkabau dan menurut Marsden (1783), terdapat sekitar 1.200 tambang emas di Minangkabau.
Kejatuhan Malaka ke Portugis pada 1511 dan perluasan Aceh hingga pantai Barat Sumatra, menyebabkan sebagian besar emas Minangkabau dibawa ke Aceh melalui pelabuhan Tiku dan Pariaman. Hal ini memberikan kekayaan luar biasa bagi Iskandar Muda, yang menurut Beaulieau (1666) memiliki seratus bahar emas. Emas-emas itu di ekspor ke luar Sumatera untuk membeli pakaian dari India (Beaulieau, 1666)
Bayang-bayang Kanibalisme
Dari sumber-sumber asing, baik dari Tiongkok, Arab dan Eropa, terdapat kisah Anthropopagis (memakan daging manusia) pada masyarakat Sumatera. Dalam bukunya, Kolonialisme dan Etnisitas (2010), Daniel Perret dengan merujuk tulisan Ptolemaeus, seorang Geograf asal Yunani disebut bahwa sejak abad ke-2 M, Sumatera adalah kawasan berbahaya yang dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal.
Demikian pula pada permulaan abad ke-5 hingga ke-6, dikenal dua daerah yakni Barus dan Polos (Pasai) yang masyarakatnya adalah kanibal. Ibn Khordadzbeh, penjelajah asal Persia yang mengunjungi Rami atau Ramni (Sumatra) dan Balus (Barus) pada tahun 851 mengatakan masyarakatnya adalah kanibal. Selanjutnya, Aja Ib’ Al-Hind tahun 1000 dan Idrisi tahun 1165, menambahkan tentang cara hidup kanibal.
Memasuki abad ke-13, Marcopolo yang mengunjungi Ferlech (Perlak) menjelaskan masyarakat yang pagan, biadab, hidupnya seperti hewan dan sebahagian kanibal. Pinto juga menyebut bahwa di Indragiri, ada kebiasaan membunuh, mencekik dan memasak serta memakan daging manusia, di samping itu masyarakatnya juga membunuh dan memakan orang lain yang mereka tangkap.
Sumber-sumber dari Tiongkok menambahkan bahwa di pulau Sumatera terdapat masyarakat yang bertato. Nicolo de’Conti pada tahun 1430 mengunjungi Sciamuthera (Samudra) dan menyebut “Batech” yang masyarakatnya adalah kanibal dan gemar perang.
Dalam karyanya Peregrination (1539), Mendes Pinto, orang pertama yang mengemukakan nama “Bata” melaporkan ‘raja orang Bata’ yang pagan dan ibukotanya adalah Panaju di pesisir barat laut Sumatra. Pinto juga menyebut masyarakat Aaru (Aru) di dekat sungai Puneticao (Lau Patani) bahwa masyarakatnya adalah pagan dan kanibal.
Tentang Aaru ini, Barbosa juga menyebut bahwa masyarakatnya adalah kanibal. Selanjutnya, pada tahun 1554, seorang penyair Turki Sidi Ali Celebi menyebut tentang pemakan manusia yang bermukim di bagian barat Pulau Sumatera. Joa de Barros pada tahun 1563 menyebut nama ‘Batas’ sebagai masyarakat kanibal yang paling liar dan paling gemar berperang yang daerahnya berhadapan dengan selat Malaka.
Augustin Beaulieu yang mengunjungi Aceh pada tahun 1620-1621 menyatakan bahwa penduduknya adalah Melayu dan di bagian pegunungan terdapat masyarakat kanibal. Pada abad ke-17, F. De Haan yakni seorang Tionghoa menggambarkan masyarakat ‘Panda’ dan ‘Bata’ sekitar sebelas hari perjalanan dari Barus sebagai orang-orang biadab, yang menghuni gunung dan hutan. Di samping itu, ia juga menceritakan detail cara memakan daging manusia.
Selanjutnya, pada 1772, Hamilton menyebut sungai Delley (Sungai Deli) yang di pesisirnya dihuni oleh masyarakat kanibal. Pada tahun itu juga, Charles Miller memasuki daerah pedalaman Tapanuli dan mencatat tentang sebuah masyarakat kanibal bernama ‘Batas’ yang berbeda dari semua penduduk lain di Sumatera dari segi bahasa, adat dan kebiasaan.
Pada 1823, John Anderson adalah orang Eropa yang menjelajahi pedalaman pesisir timur laut Sumatra dan menggunakan nama umum ‘Batta’ disamping suku lain seperti Mandiling, Kataran, Pappak, Tubba, Karau-karau, Kapak dan Alas. Terhadap praktek kanibalisme, Anderson menulis bahwa The Battas tribes are as follows: tribe Mandailing, Kataran of which are Rajah Seantar, Rajah Silow, Rajah Munto Panei and Rajah Tanah Jawa all canibals; tribe pakpak, cannibals; tribe Tubbak cannibals; tribe Karau-karau canibals, tribe Kappik cannibals. The Alas people are mussulmen.
Menurut Marsden, tradisi Anthropopagis adalah bagian dari upacara kepercayaan. Upacara itu menunjukkan kebencian mereka terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dan merupakan cara membalas dendam terhadap musuh-musuh mereka. Orang-orang yang menjadi korban adalah tawanan perang, orang yang tewas dalam perang, terdakwa yang dihukum mati seperti penzina.
Marsden juga mengemukakan bahwa tidak ada bukti tentang hal semacam itu sebagai bagian dari sejarah spesies manusia di Pulau Sumatera. Kalaupun ada, bukti-bukti yang ada sangat minim dan tidak cukup untuk membenarkan hal tersebut.
Penulis adalah pengajar dan peneliti pada Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed | Sumber Waspada Medan