Langsung ke konten utama

Gunung Sinabung Meletus

KITA turut prihatin dengan musibah yang harus dialami masyarakat Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara menyusul meletusnya Gunung Sinabung, hari Minggu dini hari. Bencana alam yang tidak diduga, pasti menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, yang harus meninggalkan tempat tinggal untuk menetap sementara di tempat pengungsian.

Untuk pertama kali setelah meletus 400 tahun lalu, Gunung Sinabung meletus kembali. Letusan kali ini sama sekali tidak terpantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sehingga masyarakat tidak tahu sama sekali bahwa ada bencana besar mengancam mereka.

Inilah yang sulit kita mengerti. Aktivitas gunung tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba. Ada proses yang harus dilewati dan dari akumulasi penumpukan energi di dalam magma, baru letusan bisa terjadi.


Ketika sebuah gunung akan meletus pasti banyak fenomena alam yang tidak biasa terjadi. Hewan-hewan yang ada di sekitar gunung pasti instingnya akan bekerja. Naluri hewani pasti akan membawa mereka turun gunung untuk menyelamatkan diri.

Mereka yang hidup di sekitar gunung seharusnya bisa menangkap kejanggalan yang terjadi di sekitar mereka. Belum lagi bau belerang yang biasanya meningkat sehingga pasti tercium oleh hidung. Biasanya air-air yang dipakai pun ikut terkontaminasi oleh belerang dari gunung.

Kehidupan modern sering membuat kita tidak lagi akrab dengan alam. Akibatnya kita tidak terlalu lagi peka terhadap fenomena alam yang terjadi di sekitar kita dan itu seringkali akibatnya fatal bagi kehidupan kita.

Kita juga menyayangkan meletusnya Gunung Sinabung bisa lepas dari pantauan PVMBG. Alasan bahwa gunung itu sudah tidur selama 400 tahun bukan dalih yang pantas untuk dipakai bahwa badan itu tidak melakukan pemantauan.

Sebagai negara yang terletak di Lingkaran Api (ring of fire) seharusnya kita menyadari bahwa aktivitas gunung-gunung di Indonesia tergolong aktif. Gunung-gunung yang tidur bukan berarti tidak bisa aktif. Para ahli vulkanologi kita pasti paham akan soal itu.

Kalau sampai ada kealpaan dalam pemantauan Gunung Sinabung berarti ada sistem yang tidak berjalan. Entah karena ketiadaan anggaran atau sikap kerja yang masa bodoh, sehingga kemudian semuanya dianggap enteng.

Kita sengaja angkat persoalan ini karena kita memertaruhkan nyawa yang begitu banyak. Karena kegagalan kita melakukan pemantauan aktivitas gunung berapi secara baik, nyaris ribuan warga menjadi korban letusan Gunung Sinabung.

Tidak terbayangkan apabila kumpulan energi yang tersimpan di Gunung Sinabung lebih besar dari yang dilepas kemarin. Awan panas yang dilepaskan ketika letusan terjadi bisa menghanguskan semua desa yang ada di kaki gunung beserta semua orang yang tinggal di desa itu.

Beruntung letusan Gunung Sinabung tidaklah dahsyat, sehingga hanya melepaskan debu serta lahar panas. Masyarakat masih memiliki waktu untuk meninggalkan rumah dan mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kita berharap badan penanggulangan bencana baik di pusat maupun di daerah segera bekerja. Mereka bukan hanya sigap untuk menyiapkan tempat penampungan yang cukup layak serta menyediakan bahan makanan yang memadai.

Kita tidak boleh membuat warga lebih menderita. Tugas negara dibantu oleh para relawan menyelamatkan hidup warga yang terkena bencana. Negara harus merawat warga sampai kelak mereka bisa kembali lagi ke rumah masing-masing.

Bagi PVMBG, meletusnya Gunung Sinabung hendaknya mengingatkan para petugas untuk lebih waspada. Para petugas harus meningkatkan kesiagaan dan kemampuan untuk memantau ribuan gunung yang ada di tanah air kita.

Meletusnya Gunung Sinabung harus membuat kita tidak boleh menganggap enteng keadaan. Kita harus tinggalkan sikap taken for granted, tetapi bersama masyarakat harus meningkatkan kepekaan, khususnya dalam melakukan mitigasi agar kita bisa terhindar dari bencana alam yang mematikan.

sumber : http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/tajuk/2010/08/29/501/Gunung-Sinabung-Meletus/tajuk

POPULAR

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Nusantara

Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. i Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendo...

Generasi Muda Wajib Tahu! Museum Tsunami Aceh Jadi Pusat Belajar Mitigasi

MUSEUM Tsunami Aceh kembali jadi sorotan. Kali ini, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ( Wamen Dukbangga ) atau Wakil Kepala BKKBN , Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka , berkunjung langsung untuk melihat bagaimana museum kebanggaan masyarakat Aceh ini terus hidup sebagai pusat edukasi kebencanaan, Kamis, 9 Oktober 2025.  Didampingi Ketua TP PKK Aceh Marlina Usman, kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Isyana menegaskan bahwa museum ini punya peran strategis: bukan hanya monumen peringatan tsunami 2004 , tapi juga ruang belajar generasi muda tentang kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan keluarga. “Museum ini jadi pengingat dahsyatnya tsunami 2004, sekaligus tempat belajar bagi generasi yang saat itu belum lahir. Mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang,” ujar Isyana, yang juga mengenang pengalamannya meliput langsung Aceh pascatsunami 20 tahun lalu. Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M Syahputra AZ, menyambut hangat kunjungan ini. Ia menegaskan bahw...

Museum Tsunami Aceh Hadirkan Koleksi UNHCR sebagai Media Pembelajaran Kebencanaan

UPTD Museum Tsunami Aceh akan segera memperkaya koleksinya dengan penambahan barang-barang bersejarah berupa bantuan kemanusiaan yang digunakan pada masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca tsunami 2004. Koleksi ini akan disumbangkan oleh UNHCR Indonesia sebagai wujud dukungan terhadap upaya pelestarian memori kolektif bencana dan pendidikan kebencanaan. Barang-barang yang akan diserahkan antara lain selimut, ember, perlengkapan dapur, dan tikar yang membawa logo UNHCR. Kepala Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Francis Teoh, menegaskan bahwa benda-benda tersebut bukan sekadar artefak, melainkan simbol nyata dari solidaritas global. “Barang-barang ini merupakan saksi bisu dari upaya kemanusiaan dunia yang menyatu dengan gelombang solidaritas untuk Aceh,” ujar Teoh, Sabtu, 27 September 2025. Teoh yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun di UNHCR dan terlibat langsung dalam tanggap darurat tsunami Aceh, menambahkan bahwa Museum Tsunami Aceh adalah ruang pembelaj...