Oleh: Muhibuddin Hanafiah - Opini, Harian Serambi Indonesia
KALAU dipikir-pikir, apa pentingnya memperingati hari lahir itu. Seperti kelahiran personal, institusional atau kelahiran apa saja dengan istilah yang dipakai pun bermacam-macam. Ada yang menamakannya dengan “milad” seperti sering kita dengar dipakai di kalangan GAM dahulu. Ada yang menyebut dengan “maulid” sebagaimana orang Aceh tatkala memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw.
Untuk peringatan hari proklamasi RI dinamakannya dengan “HUT”. Atau mengistilahkan dengan “ultah” seperti dalam memperingati hari kelahiran anak usia TK kita. Bahkan ada yang memberi terma “hari jadi” atau “dies natalis” misalnya kalangan akademisi di perguruan tinggi. Namun apa pun nama dan istilah lain yang sepadan dengannya, ternyata masih banyak istilah atau nama lainnya. Begitu pentingkah mengingat dan mengupacarakan kembali hari lahir tersebut?
Apa pula maksudnya hari lahir itu? Apakah itu berarti hari pembentukan, hari perwujudan, atau hari eksisnya sesuatu yang terkait dengan kepentingan kita? Seperti hari pernikahan, hari pembukaan suatu usaha, hari lounching produk baru kita, atau hari permulaan segala sesuatu yang sifatnya umum dan cakupannya tidak terbatas. Tetapi di antara hari-hari penting itu mengapa hanya hari kelahiran yang begitu menghebohkan dalam memperingatinya?
Terlepas dari jawaban apa yang tepat untuk mengurai soal “kelahiran”, ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kebanyakan masyarakat kita memandang hari kelahiran sebagai hari yang paling istimewa. Lalu diperingati saban tahunnya dan mengisi hari tersebut dengan berbagai acara yang mungkin sangat meriah, berkesan dan mewah. Bahkan terkadang sampai lupa diri hingga tujuan dari peringatan tersebut terpinggirkan.
Sekedar menyukuri nikmat hidup (usia) dan mengisinya dengan acara yang sederhana dan bernuansa sosial sebenarnya tidak ada masalah. Sebaliknya, berfoya-foya penuh kemubaziran hingga menimbulkan kecemburuan sosial jelas tidak diinginkan. Sebab esensi paling bijak dari memperingati hari lahir itu adalah sebagai moment introspeksi diri (muhasabah) atas amal baik apa yang belum maksimal dilakukan. Merenung tentang amal buruk apa yang mesti dihentikan untuk tidak diulangi kembali di masa yang akan datang. Sembari mengisi sisa-sisa usia yang masih Tuhan berikan dengan memperbanyak dan meningkatkan kualitas kebajikan.
Itu sejatinya, kalaupun mengadakan ritual acara memperingati hari lahir. Tujuannya tidak lebih dari batasan tersebut, sehingga setting protokulernya pun diatur sedemikian rupa yang tidak menimbulkankesan menyimpang dari tujuan sebuah perenungan (tazkirah). Ini dalam konteks memperingati hari lahir kita sendiri. Nah, bagaimana kalau memperingati hari lahir orang lain? Seperti memperingati hari lahir (baca: maulid) Nabi Muhammad saw?
Memperingati hari kelahiran apa pun, menurut saya, tujuannya sama dengan menimal dalam dua prinsip. Pertama, sederhana, tidak mubazzir. Kedua, menyentuh substansi (tujuan yang benar). Nah, bagaimana jika kita kaitan dengan perilaku umat Islam sekarang ketika memperingati maulid Nabi? Apakah telah memenuhi dua kriteria itu?
Sejujurnya, mari lihat saja di sekitar kita dalam hari-hari ke depan in, ada empat bulan berturut-turut dalam penanggalan tahun hijriyah (Rabi‘ul Awwal, Rabi‘ul Tsani, Jumadil Awwal dan Jumadil Tsani) yang mayoritas umat Islam menjadikan sebagai momen untuk memeriahkan hari lahir Nabi. Sepanjang empat bulan ini kita bisa menemukan beragam corak tentang bagaimana perilaku umat Islam dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang menurut sejarah, jatuh pada 12 Rabi‘ul Awwal itu.
Pada umumnya, kita sependapat bahwa kesan sederhana dan memperioritaskan bidikan pada tujuan hakiki sulit ditemukan. Yang dominan justru serimonialnya atau kenduri makan-makan belaka. Sementara esensi berupa mengapresiasikan akhlak Nabi sebagai acuan hidup bagi kita umatnya, secara simultan dan utuh masih jauh dari kenyataan.Ironinya keadaan itu terus saja berlaku saban tahun sepanjang hidup ini. Terus berulang tanpa sesekali mengarah kepada inti tujuan yang mumpuni dan lebih merahmati.
Serimonial itu boleh boleh saja. Setidaknya sebagai syiar untuk memperkenalkan kepada generasi baru tentang siapa sebenarnya Nabi saw yang harus diteladani, dan bagaimana kemulian hidupnya. Apalagi sekarang generasi kita hidup di era modern, dimaksudkan agar mereka tidak jauh dari akhlak sebagaimana dicontohkan Nabi mulia itu.
Fakta bahwa sampai sekarang masyarakat seperti di Aceh, lebih menonjolkan dan membesar-besarkan aspek kendurinya belaka. Sementara substansi dari moment peringatakan itu sering dilupakan bahkan hilang sama sekali. Sehingga terkesan ketika musim-musim mauled, yang terpikir oleh kita hanya pesta makan-makannya bak kanduri walimahan. Bulan mauled identik dengan bulan makan (kenduri maulid) alias bulan untuk mengisi mulut dan perut dengan aneka hidangan khas.
Maaf, ada adiagium di kalangan santri dayah salafiah, maulid menjadi “bulan perbaikan gizi”. Kelompok “zikir maulid” dengan sengaja jauh-jauh hari telah dipersiapkan untuk mengisi salah satu serimonial peringatan maulid Nabi yang diistilahkan dengan “group zike moloed”. Dimana sejak satu bulan sebelum memasuki bulan-bulan maulid sejumlah santri telah berlatih secara khusus dengan materi zikir maulid tersebut. Nantinya mereka akan memenuhi undangan pelbagai gampong untuk membawakan zikir maulid.
Pada saat itu ramai-ramai membacakan salawat kepada Nabi dan menyenandungkan sejarah (kisah) perjalanan hidup Nabi dalam bahasa Arab secara group dengan membaca kitab “barzanji”, suatukarangan khusus yang berisikan pujian-pijian dan doa kepada Nabi (shalawat). Sayangnya, dalam mesenandungkan salawat dan pujian yang tertulis dalam kitab atau karya berbahasa Arab ini tidak sekaligus diterjemahkan. Sehingga pendengar zikir maulid menjadi lebih mengerti bagaimana pesan yang sebenarnya terkandung dalam kitab itu. Jadi, masyarakat awam yang ikut menyimak dan mengikuti pelantunan kitab zikir maulid “barzanji” sering disebut seperti “cina” mendengar tahlilan, tidak memahami arti yang sesungguhnya, kecuali hanya menikmati ritme atau irama zikirnya saja.
Kapan ada perayaan mauled? Sebab belum ditemukan sumber dalam Islam sendiri, apalagi sejumlah momen besar yang bersejarah dalam Islam tidak berpijak pada hari kelahiran. Termasuk momentum kebangkitan risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw pun tidak dimulai dari hari kelahiran beliau, akan tetapi didasari pada hijrah Rasulullah sawdari Makkah ke Madinah.
Nabi saw sendiri sepanjang ditelusuri dalam hadits-hadits tidak ditemukan bahwa beliau memperingati hari kelahirannya. Inilah agak aneh, kenapa kita sekarangi justru mengklaim diri sebagai umat Nabi Muhammad. Begitu sibuknya kita menunggu datangnya bulan maulid, begitu seriusnya kita menyambut dan memperingati maulid Nabi, namun ironinya hanya menurut versi kita sendiri tanpa menoleh kepada ada tidaknya sunnah beliau itu.
Lebih ironi lagi ketika kita mengatasnamakan cinta kepada Nabi saw, lalu kita membajak hari lahir Nabi demi sebuah pengkultusan kultur yang menyimpang. Ini kita lakukan tanpa merasa bersalah, bahkn pembenaran demi pembenaran terus saja kita upayakan untuk menjustifikasi amal bid‘ah kita ini.Apalagi moment itu sengaja dibesar-besarkan hanya bertujuan berpesta pora dengan makanan atau kanduri yang hal ini bertolak belakang dengan apa yang dicontohkan sang Nabi saw.
Kita umat sekarang cenderung menunjukkan perangai yang bertolak dari ajaran Muhammad saw, termasuk menyelewengkan sunnah beliau, maka lengkaplah sudah pembajakan kita terhadap utusan Tuhan itu. Kalau Nabi dikenal sebagai orang yang sangat amanah, justru kita senang menjadi pengkhianat. Kalau Nabi dikenal dengan sifat jujurnya yang belum tertandingi (al-amin), justru kita mengangkanginya dengan berperilaku dusta, menipu, menilep, berkamuplase, berpura-pura dan berbasa-basi. Lain di depan lain pula di belakang.
Jika Nabi menghiasi diri dengan sifat selalu menyampaikan (tabligh), maka kita lebih suka menyembunyikan cukup untuk kita dan orang terdekat saja. Kita enggan berbagi (sharing), takut bila ada orang menyamai kita dalam segala hal. Karakter atau kepribadian Nabi yang luhur semacam itu justru tidak populer disebut sebagai sunah Nabi di kalangan umat Islam. Padahal beberapa contoh akhlak Nabi di atas tidak terlalu sulit diterapkan. Sebab itu bagian dari ajaran moral Rasulullah saw yang diperlihatkan kepada umat manusia. Sebaliknya, sisi manusiawi Nabi yang sifatnya sangat kondisional tetapi karena menurut kita menguntungkan, seperti berpoligami, kita klaim sebagai sunnah Nabi yang harus diteladani. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kita sangat parsial dan masih salah kaprah dalam menjadikan figur Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan.
Agaknya perlu kita meluruskan kembali cinta kepada Rasulullah saw. Pertama, jika pun hari lahir Nabi kita sambut dan peringati, maka bersederhanalah. Kedua, bagaimana caranya sisi paling utama yangwajib segera kita pungut kembali dari figur Nabi lebih diperioritaskan. Misalkan mengisi acara peringatan hari lahir Nabi (maulid) dengan mensenandungkan terjemahan kitab barzanji, mensenandungkan nasyid Islami tentang perjuangan Rasul, membuka forum sehari untuk mengkaji hadits akhlaki Rasul dan lain sebagainya. Singkatnya, jangan lagi membajak hari lahir Nabi sekedar untuk melestarikan budaya kita yang terlanjur salah ini.
* Penulis adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
Komentar