Sering mendengar jual beli followers di Twitter, pastinya yang sudah akrab di dunia 140 karakter tahu dong ya. Nah, hal yang sama juga berlaku di Facebook, walaupun secara tidak langsung mempunyai karakteristik dari sisi pengguna sosial media ini akan sedikit berbeda dari yang biasanya.
Bisnis jual beli 'suka' alias 'like' di Facebook sering disebut dengan 'peternakan klik' terbilang laku keras, mungkin saja hal ini berpotensi akan membludak jelang coblos dan mencontreng, tapi setidaknya bisnis ini di Indonesia juga sudah berlaku lama sebelum 2014 ini.
Kemunculan pihak-pihak yang ini ingin meningkatkan keberadaan di media sosial, khususnya Facebook tentu dianggap bisa menaikkan citrabody lotion kali yang tentunya menjadi tren positif, namun dilain sisi itu menjadi jebakan betmen tersendiri.
Tawaran 'like' seratus persen real people dan juga robotpeople hanya saja celah dari bisnis tersebut. Bukan saja figur atau perorangan, sejumlah selebriti, perusahaan, komunitas dan bahkan semisal Departemen Luar Negeri AS juga melakukan hal yang sama membeli 'like' di Facebook, pengikut atau follower di Twitter atau penonton YouTube dari 'peternakan klik' di luar negeri seperti dilansir oleh media luar.
Seperti diberitakan oleh voa, di 'peternakan like' tersebut, para pekerja meng-klik tanda jempol, melihat video, atau meneruskan komentar untuk meningkatkan jumlah kehadiran di media sosial. Hal seperti ini memang mirip yang terjadi pada sejumlah halaman orang-orang yang ingin jadi nomor satu di negeri ini.
Kehadiran Facebook sejak 10 tahun silam memang telah memberikan ilham dan wangsit bagi para pengguna mencari cara untuk mengembangkan jaringan sosial mereka dalam meningkatkan keuntungan finansial, tidak saja mendapatkan teman, melainkan juga untuk membanggakan diri dan meningkatkan 'clout' profesional dan mampu menaikkan popularitas serta mendongkrak nilai mereka di media sosial (nilai secara apa yang menjadi tanda tanya, peduli apa sama setan).
Associated Press pernah menemukan semakin banyak pasar global yang terlibat dalam klik palsu tersebut, sehingga membuat sejumlah perusahaan teknologi punya pekerjaan tambahan untuk membasmi itu semua.
Berbagai catatan daring (online), studi industri, dan wawancara menunjukkan bahwa berbagai perusahaan sedang mengkapitalisasi peluang ini untuk meraup jutaan dolar dengan mengatur media sosial.
Salah satu peneliti dan juga blogger sekuritas di Italia, Andrea Stroppa dan Carla De Micheli memperkirakan bahwa pada 2013, penjualan pengikut palsu di Twitter memiliki potensi untuk menghasilkan US$40 juta hingga US$360 juta sampai saat ini, dan aktivitas palsu di Facebook dapat meraup US$200 juta per tahun.
Hasilnya, banyak perusahaan, yang nilainya didasarkan pada kredibilitas, memburu pembeli dan makelar dari klik-klik palsu ini. Tapi setiap kali satu orang ditangkap, skema lainnya yang lebih kreatif muncul.
YouTube menghapus miliaran jumlah penonton video musik Desember lalu setelah para auditor menemukan beberapa video ternyata melebih-lebihkan jumlah penonton. Perusahaan induknya, Google, juga terus menerus melawan orang-orang yang mendorong klik palsu dalam iklan-iklannya.
Sementara Facebook, yang melaporkan baru-baru ini bahwa 14,1 juta dari 1,18 miliar pengguna aktifnya adalah akun palsu, juga sering melakukan pembersihan. Hal ini penting bagi perusahaan yang dibangun atas prinsip bahwa penggunanya adalah manusia nyata.
Pada 2013, Departemen Luar Negeri AS, yang memiliki lebih dari 400 ribu 'like' di Facebook, mengatakan akan berhenti membeli penggemar setelah inspektur jenderalnya mengecam lembaga tersebut karena menghabiskan US$630 ribu untuk mendongkrak keberadaan di media sosial.
Dhaka di Bangladesh, kota berpenduduk tujuh juta orang itu disebut merupakan pusat internasional untuk 'peternakan klik' ini.
Menurut CEO WeSellLikes.com, bisnis ini menghasilkan keuntungan besar. “Perusahaan-perusahaan membeli 'like' di Facebook karena mereka takut ketika orang-orang melihat halaman Facebook mereka dan hanya ada 12 atau 15 'like', mereka akan kehilangan pelanggan potensial," ujarnya.[*/mor]
Bisnis jual beli 'suka' alias 'like' di Facebook sering disebut dengan 'peternakan klik' terbilang laku keras, mungkin saja hal ini berpotensi akan membludak jelang coblos dan mencontreng, tapi setidaknya bisnis ini di Indonesia juga sudah berlaku lama sebelum 2014 ini.
Kemunculan pihak-pihak yang ini ingin meningkatkan keberadaan di media sosial, khususnya Facebook tentu dianggap bisa menaikkan citra
Tawaran 'like' seratus persen real people dan juga robot
Seperti diberitakan oleh voa, di 'peternakan like' tersebut, para pekerja meng-klik tanda jempol, melihat video, atau meneruskan komentar untuk meningkatkan jumlah kehadiran di media sosial. Hal seperti ini memang mirip yang terjadi pada sejumlah halaman orang-orang yang ingin jadi nomor satu di negeri ini.
Kehadiran Facebook sejak 10 tahun silam memang telah memberikan ilham dan wangsit bagi para pengguna mencari cara untuk mengembangkan jaringan sosial mereka dalam meningkatkan keuntungan finansial, tidak saja mendapatkan teman, melainkan juga untuk membanggakan diri dan meningkatkan 'clout' profesional dan mampu menaikkan popularitas serta mendongkrak nilai mereka di media sosial (nilai secara apa yang menjadi tanda tanya, peduli apa sama setan).
Associated Press pernah menemukan semakin banyak pasar global yang terlibat dalam klik palsu tersebut, sehingga membuat sejumlah perusahaan teknologi punya pekerjaan tambahan untuk membasmi itu semua.
Berbagai catatan daring (online), studi industri, dan wawancara menunjukkan bahwa berbagai perusahaan sedang mengkapitalisasi peluang ini untuk meraup jutaan dolar dengan mengatur media sosial.
Salah satu peneliti dan juga blogger sekuritas di Italia, Andrea Stroppa dan Carla De Micheli memperkirakan bahwa pada 2013, penjualan pengikut palsu di Twitter memiliki potensi untuk menghasilkan US$40 juta hingga US$360 juta sampai saat ini, dan aktivitas palsu di Facebook dapat meraup US$200 juta per tahun.
Hasilnya, banyak perusahaan, yang nilainya didasarkan pada kredibilitas, memburu pembeli dan makelar dari klik-klik palsu ini. Tapi setiap kali satu orang ditangkap, skema lainnya yang lebih kreatif muncul.
YouTube menghapus miliaran jumlah penonton video musik Desember lalu setelah para auditor menemukan beberapa video ternyata melebih-lebihkan jumlah penonton. Perusahaan induknya, Google, juga terus menerus melawan orang-orang yang mendorong klik palsu dalam iklan-iklannya.
Sementara Facebook, yang melaporkan baru-baru ini bahwa 14,1 juta dari 1,18 miliar pengguna aktifnya adalah akun palsu, juga sering melakukan pembersihan. Hal ini penting bagi perusahaan yang dibangun atas prinsip bahwa penggunanya adalah manusia nyata.
Pada 2013, Departemen Luar Negeri AS, yang memiliki lebih dari 400 ribu 'like' di Facebook, mengatakan akan berhenti membeli penggemar setelah inspektur jenderalnya mengecam lembaga tersebut karena menghabiskan US$630 ribu untuk mendongkrak keberadaan di media sosial.
Dhaka di Bangladesh, kota berpenduduk tujuh juta orang itu disebut merupakan pusat internasional untuk 'peternakan klik' ini.
Menurut CEO WeSellLikes.com, bisnis ini menghasilkan keuntungan besar. “Perusahaan-perusahaan membeli 'like' di Facebook karena mereka takut ketika orang-orang melihat halaman Facebook mereka dan hanya ada 12 atau 15 'like', mereka akan kehilangan pelanggan potensial," ujarnya.[*/mor]
Komentar