Berkahnya bulan Ramadhan mungkin akan selalu kita rasa disaat tidak pernah menyia-nyiakan momen sekali dalam setahun tersebut. Pesan-pesan kesederhana dalam menunaikan ibadah di bulan puasa pun sebenarnya begitu banyak yang bisa kita petik dan salah satu itu proses berinteraksi untuk saling menghormati sesama umat.
Begitulah satu status Facebook pemilik blog Wiemasen alias Erwin Syamsuddin, Rabu (10/7) lalu yang mencoba menjelaskan secara umum penting arti kita menjaga nilai-nilai bulan mulia ini. Berikut ini saya kutip status tersebut yang mungkin bisa juga Anda baca.
Betul orang yang sedang berpuasa tidak minta dihormati. Namun di propinsi atau negara yang mayoritas Islam, makan di depan umum ketika orang lain sedang berpuasa adalah sebuah tindakan provokatif, tidak menghargai dan mengejek orang yang sedang berpuasa: "Nih saya tidak sedang berpuasa, mau apa kamu. Kamu tidak ada hak untuk memaksa saya berpuasa. Puasa adalah urusan pribadi."
Betul ... ! Puasa adalah urusan pribadi. Mau tidak puasa atau puasa itu adalah urusan dia dengan Allah. Asalkan ... ada syaratnya yaitu selama dikerjakan di tempat tersembunyi (di rumah dia misalnya), maka orang tidak peduli dia berpuasa atau tidak. Namun kalau dia menunjukkan ketidakpuasaannya di depan umum, maka itu sudah masuk ke ranah publik. Kalau sudah masuk ke ranah publik, maka hukum Islam untuk kemaslahatan umat mulai berbicara. Pemerintah Islam ada hak untuk menghukum orang yang sengaja menunjukkan ketidakpuasaannya di depan umum demi mencegah virus maksiat ini berjangkit kepada orang lain.
Itulah inti hukum Islam yang diimplementasikan di ranah publik. Sangat berlawanan dengan hukum sekular yang mengijinkan perbuatan maksiat ditunjukkan di depan publik seperti ciuman sesama homo, berpakaian setengan telanjang, minum minuman keras, dll, dengan alasan kebebasan dan HAM. HAM seperti ini tidak ada tempatnya dalam Islam.
Tidakkah anda menemukan ibu anda, saudara-saudara perempuan anda, ketika sedang tidak berpuasa, makan sembunyi-sembunyi di dapur? Ini bukan karena mereka menganggap anda bakalan tergoda dengan aksi makan mereka. Bukan ... ! Mereka yakin anda tidak bakalan tergoda, karena berpuasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tapi lebih dari itu. Namun mereka menghargai anda yang sedang berpuasa. Kadang-kadang sangking menghargai, mereka ikut juga makan sahur.
Status ini menarik bagi saya, karena lagi-lagi kembali pada prinsip yang dulu pernah saya singgung dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Contohnya ini seperti di Aceh, dimana komentar atau omongan orang-orang yang sering miris kita baca atau dengar. Bagi sebagian orang yang tidak mengenal Aceh secara dekat selalu memberikan kritik yang pedas dan kadang alasan pun hanya klise, kenapa Aceh terlalu keras dengan aturan agama? kenapa ini dan itu.
Mungkin salah satu contoh di atas, yakni saling menghormati sesama umat beragama di Aceh dari dulu hingga sekarang masih terus terjaga apalagi di bulan puasa seperti ini. Makanya tidak heran, jika sering kali kita melihat orang-orang yang berjualan pada saat jam-jam dilarang (siang hari) di Aceh mendapat teguran dan hukuman keras dari pihak terkait atau pemerintah setempat.[]
Begitulah satu status Facebook pemilik blog Wiemasen alias Erwin Syamsuddin, Rabu (10/7) lalu yang mencoba menjelaskan secara umum penting arti kita menjaga nilai-nilai bulan mulia ini. Berikut ini saya kutip status tersebut yang mungkin bisa juga Anda baca.
Betul orang yang sedang berpuasa tidak minta dihormati. Namun di propinsi atau negara yang mayoritas Islam, makan di depan umum ketika orang lain sedang berpuasa adalah sebuah tindakan provokatif, tidak menghargai dan mengejek orang yang sedang berpuasa: "Nih saya tidak sedang berpuasa, mau apa kamu. Kamu tidak ada hak untuk memaksa saya berpuasa. Puasa adalah urusan pribadi."
Betul ... ! Puasa adalah urusan pribadi. Mau tidak puasa atau puasa itu adalah urusan dia dengan Allah. Asalkan ... ada syaratnya yaitu selama dikerjakan di tempat tersembunyi (di rumah dia misalnya), maka orang tidak peduli dia berpuasa atau tidak. Namun kalau dia menunjukkan ketidakpuasaannya di depan umum, maka itu sudah masuk ke ranah publik. Kalau sudah masuk ke ranah publik, maka hukum Islam untuk kemaslahatan umat mulai berbicara. Pemerintah Islam ada hak untuk menghukum orang yang sengaja menunjukkan ketidakpuasaannya di depan umum demi mencegah virus maksiat ini berjangkit kepada orang lain.
Itulah inti hukum Islam yang diimplementasikan di ranah publik. Sangat berlawanan dengan hukum sekular yang mengijinkan perbuatan maksiat ditunjukkan di depan publik seperti ciuman sesama homo, berpakaian setengan telanjang, minum minuman keras, dll, dengan alasan kebebasan dan HAM. HAM seperti ini tidak ada tempatnya dalam Islam.
Tidakkah anda menemukan ibu anda, saudara-saudara perempuan anda, ketika sedang tidak berpuasa, makan sembunyi-sembunyi di dapur? Ini bukan karena mereka menganggap anda bakalan tergoda dengan aksi makan mereka. Bukan ... ! Mereka yakin anda tidak bakalan tergoda, karena berpuasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tapi lebih dari itu. Namun mereka menghargai anda yang sedang berpuasa. Kadang-kadang sangking menghargai, mereka ikut juga makan sahur.
Status ini menarik bagi saya, karena lagi-lagi kembali pada prinsip yang dulu pernah saya singgung dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Contohnya ini seperti di Aceh, dimana komentar atau omongan orang-orang yang sering miris kita baca atau dengar. Bagi sebagian orang yang tidak mengenal Aceh secara dekat selalu memberikan kritik yang pedas dan kadang alasan pun hanya klise, kenapa Aceh terlalu keras dengan aturan agama? kenapa ini dan itu.
Mungkin salah satu contoh di atas, yakni saling menghormati sesama umat beragama di Aceh dari dulu hingga sekarang masih terus terjaga apalagi di bulan puasa seperti ini. Makanya tidak heran, jika sering kali kita melihat orang-orang yang berjualan pada saat jam-jam dilarang (siang hari) di Aceh mendapat teguran dan hukuman keras dari pihak terkait atau pemerintah setempat.[]
Komentar