“Mengenai Teuku Raja Tampok yang disebut dalam laporan politik yang lalu, seorang lawan kita yang terdamaikan itu telah dicari-cari 20 tahun yang lalu, hanya diterima berita yang samar-samar; namun demikian dapat dipastikan ia beserta istrinya tetap bertualang di paya-paya Seuneuam yang amat sukar ditembusi itu diberi makan oleh penduduk Seuneuam." (Mailrapport No. 130/29)
Petikan singkat laporan Gubernur Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan kita bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan T. R. Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad ke-19 lalu.
Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan dalam menghadapi Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi oleh putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk. Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said Abdur Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru antara kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan Mathes yang bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para gerilyawan bersangkutan (muslimin) yang menimbulkan banyak korban. Kapten Campioni sendiri gugur dalam suatu pertempuran, namun pasukan Belanda yang ter-organisir rapi dengan dukungan senjata dan logistik yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh pihak gerilyawan. Menyadari hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan turun berdamai dengan Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.
Turunnya T. Keumangan memang berpengaruh terhadap volume perlawanan, tetapi tidak berarti perlawanan menjadi berhenti. Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik masih tetap meneruskan perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Marsose yang dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka dibantu oleh beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa, T. Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.
Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang itu cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak (asrama) di Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe. Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan lagi menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka adalah penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong oleh keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah syahid.
Apapun perlawanan yang mereka lakukan nyatanya pasukan Belanda yang terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka enyahkan dari negeri Seunagan. Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T. Usman, anak Tgk. Putik, sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya luka atau tertawan. Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang pengikutnya pada bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911 Tgk. Padang Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para ksatria yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali, seperti Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada tahun 1918 diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Terikat oleh sumpahnya itulah, maka T.Raja Tampok beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan gerilya dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang lain di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi gerilya di daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang sangat ditakuti dan dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu kutipan yang telah disebut di atas.
Kurang diketahui secara persis berapa jumlah pengikut T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan tersebut. Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun 1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang yang tidak puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan perasaan tidak puas itu melalui perang sabil melawan kafir.
Dalam suasana perang gerilya T.R. Tampok menerapkan aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar dari marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam. Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.
Operasi militer dan patroli yang dilakukan oleh serdadu Marsose yang berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya dapat mengurangi pengikut T.R. Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi tidak mampu menangkap atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R. Tampok luput dari kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh. Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R. Tampok di mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang disebarkan dari mulut ke mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh (pengetahuan waktu-waktu yang cocok untuk bertindak agar selamat) dan peurabon (dapat hilang seketika atau menjelma menjadi makhluk lain).
Di samping penguasaan terhadap alam sekitar dan kemampuan beradaptasi dengan alam, rahasia kemampuan bertahan T.R. Tampok juga terletak atas jaringan kekerabatan yang berlangsung antara dirinya dengan masyarakat setempat. Ketika ia berada di hulu Krueng Tripa, keuchik Uyam dan Khatib Bismi masing-masing kepala desa dan imam Desa ujung Baroh, Mukim Blang Tripa, tempat leluhur T.R. Tampok berasal dan dikebumikan, Menurut T.R. Tadu, telah berhubungan secara rahasia dengan T.R. Tampok di tempat persembunyiannya. Melalui jaringan hubungan itulah ia dapat memperoleh suplai garam atau kain yang amat diperlukan. Malah putrinya Cut Keumala yang telah lama ditingggalkan di desa bersama dengan 4 cucunya T. Usman, T. Banta, T.R. Tadu, dan T. R. Kuala dapat bergabung kembali dengan T.R. Tampok pada akhir masa kolonial melalui jaringan di atas (Wawancara dengan T.R. Tadu 1995).
Hulubalang setempat kelihatannya bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu terdapat juga konflik kepentingan antara T.R. Tampok dengan sebagian masayarakat desa. Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi diselesaikan melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tgk. M. Yatim, imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2 orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian T.R. Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut T.R. Tampok, yang terakhir segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926 Ben Lui dan Pang Perlak membunuh T.R. Batak. Zelfbestuurder Seunagan T. Keumangan membiarkan peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu begitu saja (Mailrapport No. 221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian imuem Tripa Atas digantikan oleh T.R. Gombak.
Dalam masa gerilya itulah T.R. Tampok memperoleh seorang putra yang diberi nama T. Bentara Keumangan, tetapi lebih populer T. Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. T.R. Ubit sendiri bukan lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah Indah/janda A. Rahman, pengikut T.R. Tampok yang telah ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda. Ketika tempat persembunyian T.R. Tampok di Blang Tadu dikepung serdaddu Marsose, T.R. Tampok dan Cut Caya beserta T.R. ubit yang masih kecil dapat menyelamatkan diri ke hulu Blang Tripa. Sedangkan Indah gugur dalam kepungan itu. Sejak saat itu T.R. Ubit diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah tempat (Wawancara Zainal Abidin, 1995).
Berbarengan dengan aksi gerilya yang dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar (Nota Van Toelichting …). Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan munculnya Pasar Jeuram dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan penduduk setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
Kesemua hal di atas mengakibatkan struktur sosial masyarakat Seunagan bertambah kompleks berkat munculnya kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan Alue Bili sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang Cina maupun orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana Hamzah. Di samping itu, muncul pula generasi muda terpelajar baik yang memperoleh pendidikan umum maupun madrasah, seperti M. J. Efendi dan Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok pedagang dan intelegensia muda ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup adaptif terhadap ide pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan Nusantara waktu itu. Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya berpengaruh pada pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul kekuasaan baru di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di Seunagan dan Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si Ali, sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin spiritual Tarekat Syatariah.
Sumber: Agus Budi Wibowo dan M. Isa Sulaiman, diposting oleh Dedi Syahputra El- Parom.
Petikan singkat laporan Gubernur Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan kita bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan T. R. Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad ke-19 lalu.
Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan dalam menghadapi Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi oleh putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk. Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said Abdur Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru antara kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan Mathes yang bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para gerilyawan bersangkutan (muslimin) yang menimbulkan banyak korban. Kapten Campioni sendiri gugur dalam suatu pertempuran, namun pasukan Belanda yang ter-organisir rapi dengan dukungan senjata dan logistik yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh pihak gerilyawan. Menyadari hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan turun berdamai dengan Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.
Turunnya T. Keumangan memang berpengaruh terhadap volume perlawanan, tetapi tidak berarti perlawanan menjadi berhenti. Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik masih tetap meneruskan perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Marsose yang dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka dibantu oleh beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa, T. Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.
Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang itu cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak (asrama) di Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe. Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan lagi menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka adalah penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong oleh keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah syahid.
Apapun perlawanan yang mereka lakukan nyatanya pasukan Belanda yang terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka enyahkan dari negeri Seunagan. Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T. Usman, anak Tgk. Putik, sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya luka atau tertawan. Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang pengikutnya pada bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911 Tgk. Padang Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para ksatria yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali, seperti Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada tahun 1918 diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Terikat oleh sumpahnya itulah, maka T.Raja Tampok beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan gerilya dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang lain di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi gerilya di daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang sangat ditakuti dan dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu kutipan yang telah disebut di atas.
Kurang diketahui secara persis berapa jumlah pengikut T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan tersebut. Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun 1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang yang tidak puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan perasaan tidak puas itu melalui perang sabil melawan kafir.
Dalam suasana perang gerilya T.R. Tampok menerapkan aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar dari marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam. Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.
Operasi militer dan patroli yang dilakukan oleh serdadu Marsose yang berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya dapat mengurangi pengikut T.R. Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi tidak mampu menangkap atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R. Tampok luput dari kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh. Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R. Tampok di mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang disebarkan dari mulut ke mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh (pengetahuan waktu-waktu yang cocok untuk bertindak agar selamat) dan peurabon (dapat hilang seketika atau menjelma menjadi makhluk lain).
Di samping penguasaan terhadap alam sekitar dan kemampuan beradaptasi dengan alam, rahasia kemampuan bertahan T.R. Tampok juga terletak atas jaringan kekerabatan yang berlangsung antara dirinya dengan masyarakat setempat. Ketika ia berada di hulu Krueng Tripa, keuchik Uyam dan Khatib Bismi masing-masing kepala desa dan imam Desa ujung Baroh, Mukim Blang Tripa, tempat leluhur T.R. Tampok berasal dan dikebumikan, Menurut T.R. Tadu, telah berhubungan secara rahasia dengan T.R. Tampok di tempat persembunyiannya. Melalui jaringan hubungan itulah ia dapat memperoleh suplai garam atau kain yang amat diperlukan. Malah putrinya Cut Keumala yang telah lama ditingggalkan di desa bersama dengan 4 cucunya T. Usman, T. Banta, T.R. Tadu, dan T. R. Kuala dapat bergabung kembali dengan T.R. Tampok pada akhir masa kolonial melalui jaringan di atas (Wawancara dengan T.R. Tadu 1995).
Hulubalang setempat kelihatannya bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu terdapat juga konflik kepentingan antara T.R. Tampok dengan sebagian masayarakat desa. Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi diselesaikan melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tgk. M. Yatim, imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2 orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian T.R. Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut T.R. Tampok, yang terakhir segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926 Ben Lui dan Pang Perlak membunuh T.R. Batak. Zelfbestuurder Seunagan T. Keumangan membiarkan peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu begitu saja (Mailrapport No. 221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian imuem Tripa Atas digantikan oleh T.R. Gombak.
Dalam masa gerilya itulah T.R. Tampok memperoleh seorang putra yang diberi nama T. Bentara Keumangan, tetapi lebih populer T. Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. T.R. Ubit sendiri bukan lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah Indah/janda A. Rahman, pengikut T.R. Tampok yang telah ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda. Ketika tempat persembunyian T.R. Tampok di Blang Tadu dikepung serdaddu Marsose, T.R. Tampok dan Cut Caya beserta T.R. ubit yang masih kecil dapat menyelamatkan diri ke hulu Blang Tripa. Sedangkan Indah gugur dalam kepungan itu. Sejak saat itu T.R. Ubit diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah tempat (Wawancara Zainal Abidin, 1995).
Berbarengan dengan aksi gerilya yang dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar (Nota Van Toelichting …). Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan munculnya Pasar Jeuram dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan penduduk setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
Kesemua hal di atas mengakibatkan struktur sosial masyarakat Seunagan bertambah kompleks berkat munculnya kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan Alue Bili sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang Cina maupun orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana Hamzah. Di samping itu, muncul pula generasi muda terpelajar baik yang memperoleh pendidikan umum maupun madrasah, seperti M. J. Efendi dan Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok pedagang dan intelegensia muda ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup adaptif terhadap ide pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan Nusantara waktu itu. Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya berpengaruh pada pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul kekuasaan baru di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di Seunagan dan Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si Ali, sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin spiritual Tarekat Syatariah.
Sumber: Agus Budi Wibowo dan M. Isa Sulaiman, diposting oleh Dedi Syahputra El- Parom.