Oleh H. Harun Keuchik Leumiek
SETIAP suku di dunia ini punya pakaian adat tersendiri. Itu menjadi ciri khas yang membedakan antara satu suku dengan lainnya. Misalnya pakaian adat suku Jawa berbeda dengan pakaian adat suku batak atau dengan pakaian adat orang Minang. Bagaimana pula bentuk pakaian adat Aceh. Pakaian adat Aceh baik yang digunakan kaum perempuan atau kaum lelaki, memiliki bentuk sendiri meskipun coraknya sama. Yang membedakannya adalah atribut, baik itu pakaian adat resmi maupun yang digunakan keseharian.
Untuk pakaian adat yang dikenakan kaum laki-laki berwana hitam. Warna hitam bagi masyarakat Acehbermakna kebesaran adat. Maka bila seseorang mengenakan baju dan celana hitam berarti orang tersebut dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya. Ini bedanya dengan masyarakat di daerah lain, bila memakai pakaian warna hitam, itu bisa berarti mereka sedang berkabung karena sesuatu musibah yang dialaminya.
Di Aceh, jika seorang pengantin laki-laki Aceh (linto baro), secara adat ia diwajibkan memakai pakaian warna hitam dan tidak dibolehkan memakai pakaian warna lain. Begitu juga jika akan menghadiri upacara-upacara kebesaran resmi lainnya, kaum laki-laki Aceh diharuskan mengenakan pakaian berwarna hitam. Kecuali bila menghadiri acara-acara yang tidak resmi, itu bisa saja mengenakan pakaian warna lain.
Kenyataan sekarang ini pakaian adat itu tak lagi diperhatikan. Kita menjumpai penggunaan pakaian adat Aceh yang tidak lagi menurut adat itu sendiri; baik dari segi warna penyematan atribut (perhiasan) maupun tatacara menggunakannya. Misal, pemberian motif sulaman kasap pada bagian depan baju (bagian dada) dengan sulaman warna emas yang hampir penuh sampai ke leher baju. Motif seperti itu sebetulnya tidak perlu, karena pakaian (baju) adat Aceh telah dihiasi dengan atribut lain, seperti Ija Seumadah yang dilengkapi dengan Boh Ru, ayeum bajee, rencong atau siwah. Jadi kalau memakai atribut (hiasan) sulaman kasap pada baju adat Aceh cukup sulaman yang sederhana saja.
Demikian pula jika pengantin pria yang diharuskan mengenakan kupiah meukeutop lengkap dengan teungkulok dan tampok. Pada kupiah meukeutop ini juga dihiasi dengan hiasan prik-prik yang dipakai sebelah kanan kupiah sampai ke telinga untuk lebih indah kelihatannya. Pada pakaian linto baro juga dilengkapi dengan kain sarung yang dililit dari pinggang hingga atas lutut. Dan pada bagian pinggang diselipkan sebilah senjata tajam Aceh, yaitu rencong atau siwah.
Secara adat, dalam satu prosesi kebesaran seperti upacara pesta perkawinan, senjata tajam yang digunakan seorang linto baro seharusnya adalah siwah, bukan rencong. Karena rencong adalah senjata yang melambangkan kepahlawanan. Namun saat sekarang ini kita akui, untuk mendapatkan siwah memang sangat sulit, karena jenis senjata tajam itu sudah sangat langka di temukan dalam masyarakat Aceh. Kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja dari kaum bangsawan di Aceh. Apa lagi siwah ini sekarang nyaris tak ada lagi yang membuatnya. Itu sebabnya, linto baro di Aceh sekarang banyak yang mengenakan rencong daripada siwah.
Jangan salah pakai
Ada satu hal perlu diperhatikan dalam memakai Rencong, terutama bagi linto baro dan dalam upacara kebesaran. Seringkali ketika memakai rencong, kita temukan orang salah meletakkannya. Bagi linto baro tidak boleh memakai rencong dengan posisi lekuk (cunggek) gagangnya ke bawah, lekuk gagangnya harus ke atas. Kalau posisi lekuk gagang rencong itu ke bawah secara adat Aceh orang itu dianggap sedang dalam keadaan bahaya. Sedangkan kalau rencong itu dipakai dalam posisi lekuk gagangnya ke atas, secara adat menggambarkan orang yang memakai rencong tersebut berada dalam keadaan aman.
Dalam aturan penggunaan rencong ada ungkapan: “Pantang peudeueng meulinteung sarong, pantang rincong meulinteueng mata”. Ungkapan ini bermakna, jika rencong yang dipakai itu gagangnya bercunggek ke bawah, itu berarti mata rencong yang dipakainya (bagian yang tajam) melintang ke atas. Dalam falsafah adat Aceh, bila mata rencong yang dipakai seseorang sudah melintang ke atas berarti orang itu sedang dalam bahaya dan siap untuk bertempur. Jadi, bila seorang linto baro dalam mengenakan pakaian adat Aceh dengan memakai rencong gagangnya bercunggek ke bawah. Dalam pemahaman adat Aceh tentu sangat bertentangan dengan suasana prosesi upacara kebesaran yang dilakukannya.
Logikanya, seorang pengantin baru yang sedang menjalani upacara perkawinannya tidak mungkin ia dalam keadaan tidak aman. Namanya saja “raja sehari”, sudah tentu hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan. Aman, tenang dan damai. Bukan hari berbahaya. Karena itu, secara adat letak rencong yang dipakai pengantin baru di Aceh bukan masalah sepele. Inilah jarang menjadi perhatian kita selama ini atau akibat ketidakmahfuman adat istiadat Aceh.
Semestinya hal-hal kecil jangan diabaikan. Sebab bukan mustahil akan menjadi kesalahan aturan adat yang besar dan akan berefek pada generasi Aceh yang tidak lagi tahu adat-istiadat indatunya. Contoh lain tentang penggunaan kain berwarna pada tebung rencong (antara sarung dengan gagang). Bagi seorang linto baro atau bagi orang yang menghadiri acara-acara serimoni dengan menggunakan pakaian adat Aceh yang lengkap dengan rencongnya, warna kain yang harus dipakai pada rencong dan siwah adalah warna kuning. Sedangkan khusus bagi orang pengawal atau orang yang akan berperang warna kain yang harus dipakai pada rencongnya adalah warna merah.
Ija seumadah
Dalam mengenakan pakaian adat Aceh khususnya bagi laki-laki juga dikenal dengan Ija Seumadah; sepotong kain empat segi yang biasanya dibuat dari sutra dan benang mas. Ada juga dibuat dalam bentuk modifikasi, pinggirannya dari kain sutra yang disulam benang mas dan di tengahnya diberi kain biasa. Pada empat sisi Ija Seumadah ini digantung beberapa jenis mainan yang terbuat dari emas, suasa atau perak. Mainan tersebut berbentuk Boh Ru, korek kuping dan beberapa anak kunci penting, serta alat-alat lainnya yang dianggap sangat penting dibawa serta setiap saat oleh yang menggunakan Ija Seumadah.
Semua mainan itu digantung pada tiap segi ujung Ija Seumadah, lalu kainnya diletakkan di atas bahu sebelah kanan, maka mainan yang tergantung pada kain itu diletakkan dibagian depan hingga mainan tersebut tampak menonjol dan indah. Sedangkan bagian dalam kain diisi sirih dan seperangkat alat makan sirih lainnya seperti daun sirih, kapur, pinang, gambir, dan sebuah cubek (alat pelumat sirih bagi yang giginya sudah tidak kuat lagi). Dengan memakai mainan tersebut letak kain Seumadah akan berimbang ketika digantung di bahunya. Kegunaan sirih yang ada dalam Ija Seumadah ini, yaitu bila mereka menghadiri pertemuan dengan orang-orang penting, maka pada saat istirahat sirih tersebut langsung dibuka dan dimakan sambil menunggu musyawarah atau pertemuan dilanjutkan kembali.
Sekarang ini bentuk Ija Seumadah ini sudah banyak dimodifikasikan. Malah fungsinya juga tidak lagi dijadikan sebagai pelengkap kain yang dapat membawa alat-alat makan sirih. Bentuk kain Seumadah sekarang kelihatan hanya digantung beberapa mainan saja yang dijahit di bagian depan atau disisipkan dengan jarum pentul. Sehingga kelihatannya lebih berfungsi untuk perhiasan daripada fungsi dan kegunaan Ija Seumadah itu sendiri.
Ayeum bajee
Dalam pakaian adat Aceh yang dipakai laki-laki ada juga perhiasan yang disebut Ayeum Bajee. Perhiasan ini dikenakan saat memakai pakaian tradisional Aceh, ataupun pakaian mempelai. Pakaian tersebut terdiri dar tiga untai rantai yang disangkut pada kantong jas Aceh. Dua untai di antaranya digantung di luar dan dikaitkan dengan hiasan bermotif ikan dan kunci.
Ikan yang dirangkai dengan bunga kelapa atau bunga aren pada untaian perhiasan (ayeum bajee) ini dapat diartikan bahwa dalam Islam-meskipun ikan itu telah mati tanpa disembelih-tapi masih halal untuk dimakan. Sedangkan kunci yang digantung pada perhiasan ayeum bajee melambangkan bahwa orang Aceh sangat menjaga harta bendanya. Sehingga kemana pun ia pergi kunci lemarinya tetap dibawa serta.
Sementara satu untaian lagi dari tiga untaian rantai tadi bentuknya agak panjang dan dimasukkan ke dalam kantong, yang di ujung untaian rantai itu disangkutkan sebuah jam kantong. Ini melambangkan orang Aceh sangat menghargai waktu. Semua bentuk perhiasan Ayeum Bajee ini ada yang terbuat dari emas dan ada yang dari perak. Sekarang bentuk Ayeum Bajee sudah ada yang dihiasi dengan Pinto Aceh dan rencong kecil. Malah sekarang ada yang menghiasi Ayeum Bajee ini dengan paun rupiah. Akan tetapi penghiasan Ayeum Bajee dengan paun rupiah itu tidak mencerminkan budaya Aceh, karena paun itu buatan luar negeri yang bertuliskan Amerika atau Nederland (Belanda).
Penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian laki-laki menurut adat Aceh mestinya dapat dipakai kembali dalam upaya pelestarian nilai-nilai adat istiadat Aceh di tengah kekhawatiran terhadap kehilangan identitas nilai-nilai kebudayaan Aceh, akibat pengaruh budaya global sekarang ini. Inilah satu hal yang hendaknya dijadikan rujukan dalam event Pekan Kebudayaan Aceh kelima ini.
* Penulis adalah kolektor benda-benda warisan budaya Aceh, Ketua Bidang pusaka adat Aceh MAA.
SETIAP suku di dunia ini punya pakaian adat tersendiri. Itu menjadi ciri khas yang membedakan antara satu suku dengan lainnya. Misalnya pakaian adat suku Jawa berbeda dengan pakaian adat suku batak atau dengan pakaian adat orang Minang. Bagaimana pula bentuk pakaian adat Aceh. Pakaian adat Aceh baik yang digunakan kaum perempuan atau kaum lelaki, memiliki bentuk sendiri meskipun coraknya sama. Yang membedakannya adalah atribut, baik itu pakaian adat resmi maupun yang digunakan keseharian.
Untuk pakaian adat yang dikenakan kaum laki-laki berwana hitam. Warna hitam bagi masyarakat Acehbermakna kebesaran adat. Maka bila seseorang mengenakan baju dan celana hitam berarti orang tersebut dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya. Ini bedanya dengan masyarakat di daerah lain, bila memakai pakaian warna hitam, itu bisa berarti mereka sedang berkabung karena sesuatu musibah yang dialaminya.
Di Aceh, jika seorang pengantin laki-laki Aceh (linto baro), secara adat ia diwajibkan memakai pakaian warna hitam dan tidak dibolehkan memakai pakaian warna lain. Begitu juga jika akan menghadiri upacara-upacara kebesaran resmi lainnya, kaum laki-laki Aceh diharuskan mengenakan pakaian berwarna hitam. Kecuali bila menghadiri acara-acara yang tidak resmi, itu bisa saja mengenakan pakaian warna lain.
Kenyataan sekarang ini pakaian adat itu tak lagi diperhatikan. Kita menjumpai penggunaan pakaian adat Aceh yang tidak lagi menurut adat itu sendiri; baik dari segi warna penyematan atribut (perhiasan) maupun tatacara menggunakannya. Misal, pemberian motif sulaman kasap pada bagian depan baju (bagian dada) dengan sulaman warna emas yang hampir penuh sampai ke leher baju. Motif seperti itu sebetulnya tidak perlu, karena pakaian (baju) adat Aceh telah dihiasi dengan atribut lain, seperti Ija Seumadah yang dilengkapi dengan Boh Ru, ayeum bajee, rencong atau siwah. Jadi kalau memakai atribut (hiasan) sulaman kasap pada baju adat Aceh cukup sulaman yang sederhana saja.
Demikian pula jika pengantin pria yang diharuskan mengenakan kupiah meukeutop lengkap dengan teungkulok dan tampok. Pada kupiah meukeutop ini juga dihiasi dengan hiasan prik-prik yang dipakai sebelah kanan kupiah sampai ke telinga untuk lebih indah kelihatannya. Pada pakaian linto baro juga dilengkapi dengan kain sarung yang dililit dari pinggang hingga atas lutut. Dan pada bagian pinggang diselipkan sebilah senjata tajam Aceh, yaitu rencong atau siwah.
Secara adat, dalam satu prosesi kebesaran seperti upacara pesta perkawinan, senjata tajam yang digunakan seorang linto baro seharusnya adalah siwah, bukan rencong. Karena rencong adalah senjata yang melambangkan kepahlawanan. Namun saat sekarang ini kita akui, untuk mendapatkan siwah memang sangat sulit, karena jenis senjata tajam itu sudah sangat langka di temukan dalam masyarakat Aceh. Kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja dari kaum bangsawan di Aceh. Apa lagi siwah ini sekarang nyaris tak ada lagi yang membuatnya. Itu sebabnya, linto baro di Aceh sekarang banyak yang mengenakan rencong daripada siwah.
Jangan salah pakai
Ada satu hal perlu diperhatikan dalam memakai Rencong, terutama bagi linto baro dan dalam upacara kebesaran. Seringkali ketika memakai rencong, kita temukan orang salah meletakkannya. Bagi linto baro tidak boleh memakai rencong dengan posisi lekuk (cunggek) gagangnya ke bawah, lekuk gagangnya harus ke atas. Kalau posisi lekuk gagang rencong itu ke bawah secara adat Aceh orang itu dianggap sedang dalam keadaan bahaya. Sedangkan kalau rencong itu dipakai dalam posisi lekuk gagangnya ke atas, secara adat menggambarkan orang yang memakai rencong tersebut berada dalam keadaan aman.
Dalam aturan penggunaan rencong ada ungkapan: “Pantang peudeueng meulinteung sarong, pantang rincong meulinteueng mata”. Ungkapan ini bermakna, jika rencong yang dipakai itu gagangnya bercunggek ke bawah, itu berarti mata rencong yang dipakainya (bagian yang tajam) melintang ke atas. Dalam falsafah adat Aceh, bila mata rencong yang dipakai seseorang sudah melintang ke atas berarti orang itu sedang dalam bahaya dan siap untuk bertempur. Jadi, bila seorang linto baro dalam mengenakan pakaian adat Aceh dengan memakai rencong gagangnya bercunggek ke bawah. Dalam pemahaman adat Aceh tentu sangat bertentangan dengan suasana prosesi upacara kebesaran yang dilakukannya.
Logikanya, seorang pengantin baru yang sedang menjalani upacara perkawinannya tidak mungkin ia dalam keadaan tidak aman. Namanya saja “raja sehari”, sudah tentu hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan. Aman, tenang dan damai. Bukan hari berbahaya. Karena itu, secara adat letak rencong yang dipakai pengantin baru di Aceh bukan masalah sepele. Inilah jarang menjadi perhatian kita selama ini atau akibat ketidakmahfuman adat istiadat Aceh.
Semestinya hal-hal kecil jangan diabaikan. Sebab bukan mustahil akan menjadi kesalahan aturan adat yang besar dan akan berefek pada generasi Aceh yang tidak lagi tahu adat-istiadat indatunya. Contoh lain tentang penggunaan kain berwarna pada tebung rencong (antara sarung dengan gagang). Bagi seorang linto baro atau bagi orang yang menghadiri acara-acara serimoni dengan menggunakan pakaian adat Aceh yang lengkap dengan rencongnya, warna kain yang harus dipakai pada rencong dan siwah adalah warna kuning. Sedangkan khusus bagi orang pengawal atau orang yang akan berperang warna kain yang harus dipakai pada rencongnya adalah warna merah.
Ija seumadah
Dalam mengenakan pakaian adat Aceh khususnya bagi laki-laki juga dikenal dengan Ija Seumadah; sepotong kain empat segi yang biasanya dibuat dari sutra dan benang mas. Ada juga dibuat dalam bentuk modifikasi, pinggirannya dari kain sutra yang disulam benang mas dan di tengahnya diberi kain biasa. Pada empat sisi Ija Seumadah ini digantung beberapa jenis mainan yang terbuat dari emas, suasa atau perak. Mainan tersebut berbentuk Boh Ru, korek kuping dan beberapa anak kunci penting, serta alat-alat lainnya yang dianggap sangat penting dibawa serta setiap saat oleh yang menggunakan Ija Seumadah.
Semua mainan itu digantung pada tiap segi ujung Ija Seumadah, lalu kainnya diletakkan di atas bahu sebelah kanan, maka mainan yang tergantung pada kain itu diletakkan dibagian depan hingga mainan tersebut tampak menonjol dan indah. Sedangkan bagian dalam kain diisi sirih dan seperangkat alat makan sirih lainnya seperti daun sirih, kapur, pinang, gambir, dan sebuah cubek (alat pelumat sirih bagi yang giginya sudah tidak kuat lagi). Dengan memakai mainan tersebut letak kain Seumadah akan berimbang ketika digantung di bahunya. Kegunaan sirih yang ada dalam Ija Seumadah ini, yaitu bila mereka menghadiri pertemuan dengan orang-orang penting, maka pada saat istirahat sirih tersebut langsung dibuka dan dimakan sambil menunggu musyawarah atau pertemuan dilanjutkan kembali.
Sekarang ini bentuk Ija Seumadah ini sudah banyak dimodifikasikan. Malah fungsinya juga tidak lagi dijadikan sebagai pelengkap kain yang dapat membawa alat-alat makan sirih. Bentuk kain Seumadah sekarang kelihatan hanya digantung beberapa mainan saja yang dijahit di bagian depan atau disisipkan dengan jarum pentul. Sehingga kelihatannya lebih berfungsi untuk perhiasan daripada fungsi dan kegunaan Ija Seumadah itu sendiri.
Ayeum bajee
Dalam pakaian adat Aceh yang dipakai laki-laki ada juga perhiasan yang disebut Ayeum Bajee. Perhiasan ini dikenakan saat memakai pakaian tradisional Aceh, ataupun pakaian mempelai. Pakaian tersebut terdiri dar tiga untai rantai yang disangkut pada kantong jas Aceh. Dua untai di antaranya digantung di luar dan dikaitkan dengan hiasan bermotif ikan dan kunci.
Ikan yang dirangkai dengan bunga kelapa atau bunga aren pada untaian perhiasan (ayeum bajee) ini dapat diartikan bahwa dalam Islam-meskipun ikan itu telah mati tanpa disembelih-tapi masih halal untuk dimakan. Sedangkan kunci yang digantung pada perhiasan ayeum bajee melambangkan bahwa orang Aceh sangat menjaga harta bendanya. Sehingga kemana pun ia pergi kunci lemarinya tetap dibawa serta.
Sementara satu untaian lagi dari tiga untaian rantai tadi bentuknya agak panjang dan dimasukkan ke dalam kantong, yang di ujung untaian rantai itu disangkutkan sebuah jam kantong. Ini melambangkan orang Aceh sangat menghargai waktu. Semua bentuk perhiasan Ayeum Bajee ini ada yang terbuat dari emas dan ada yang dari perak. Sekarang bentuk Ayeum Bajee sudah ada yang dihiasi dengan Pinto Aceh dan rencong kecil. Malah sekarang ada yang menghiasi Ayeum Bajee ini dengan paun rupiah. Akan tetapi penghiasan Ayeum Bajee dengan paun rupiah itu tidak mencerminkan budaya Aceh, karena paun itu buatan luar negeri yang bertuliskan Amerika atau Nederland (Belanda).
Penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian laki-laki menurut adat Aceh mestinya dapat dipakai kembali dalam upaya pelestarian nilai-nilai adat istiadat Aceh di tengah kekhawatiran terhadap kehilangan identitas nilai-nilai kebudayaan Aceh, akibat pengaruh budaya global sekarang ini. Inilah satu hal yang hendaknya dijadikan rujukan dalam event Pekan Kebudayaan Aceh kelima ini.
* Penulis adalah kolektor benda-benda warisan budaya Aceh, Ketua Bidang pusaka adat Aceh MAA.