Image via Wikipedia
Banyak orang akan terkejut kalau datang ke Aceh. Karena pembicaraan masalah panglima, bukan pimbicaraan yang sakral atau milik para elit politik saja. Semua lapisan masyarakat Aceh akan sangat gampang dan mudah membicarakan tentang panglima. Malah mereka mendiskusikan tingkah laku para panglima sehari-hari, dan terkesan sangat akrab atau mengenal para panglima tersebut.
Kondisi ini pernah membuat serorang teman dari Jakarta tercengang, ketika berkunjung ke sebuah desa di Aceh yang jauh dari perkotaan. Masyarakat desa tersebut sedang mendiskusikan sikap dan tingkah laku para panglima. Keheranan teman saya ini semakin memuncak ketika mereka pergi kedesa lain di pinggir pantai. Masyarakat dipinggir pantai juga mendiskusikan tentang panglima, mulai dari sisi positif hingga ke sisi negative. Begitu terkenalkah panglima di Aceh, atau begitu besarkah kekuasaan yang dimiliki oleh panglima di Aceh sehingga begitu terkenal. Namun keheranan tersebut, sedikit terjawab dengan sebuah kondisi masalalu Aceh. Dimana Aceh pernah berstatus darurat militer—sehingga kondisi tersebut membuat panglima militer di Aceh memiliki kekuasaan yang luar biasa besar.
Kalau memang demikian, kenapa dalam kondisi damai, tanpa darurat militer panglima masih begitu terkenal, belum lagi sudah keskian kalinya Panglima KODAM diganti dari Aceh, artinya orangnyapun sudah berganti.
Setelah teman tersebut kembali ke Banda Aceh dia menceritatan segala fenomena yang dia dapatkan dalam kunjungannya ke bebarapa desa di Aceh, termasuk masalah familiarnya panglima bagi masyarakat Aceh. Keadaan ini sunggu bertolak belakang dengan kondisi Aceh beberata tahun yang lalu, sebelum perdamaian terjadi. Dimana sikapa anti militer sangat jelas ditunjukkan, serta sikap perlawanan terhadap militerisme. Namun saat ini mereka seperti begitu mengenal para panglima, sehingga mereka bisa menceritakan prilaku para panglima sehari-hari, baik itu prilaku positif maupun prilaku negatif.
Karena keheranannya tersebut, taman saya menceritakan pengalaman perjalanannya tersebut kepda saya di sebuah warung kopi di Banda Aceh. setelah mendengar cerita yang panjang lebar dengan sedikit tertawa saya menjawab, “Kalau panglima yang dimaksud oleh masyarakat tersebut belum tentu Panglima TNI atau Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam)”. Bisa juga yang mereka maksud Panglima Sagoi (sebutan untuk pangglima GAM ditingkat Kecamatan), Panglima Muda, Panglima Wilyah dan banyak lagi sebutan untuk para panglima GAM di Aceh. Selain itu juga ada Panglima Laot (Panglima Laut)—sebutan untuk mereka yang menjadi ketua dalam adat melaut, atau Panglima Glee—Orang yang dituakan dalam urusan berkebun di gunung, atau bisa juga Panglima Tibang. Sebutan yang terakhir ini (Panglima Tibang) merupakan sebutan bagi mereka yang dianggap cuak atau mata-mata (informan) dalam masa konflik Aceh.
Jadi kalau dilihat dari panggilan Panglima tersebut, Aceh merupakan Negeri Seribu panglima, mulai dari panglima yang resmi—TNI/POLRI, sampai ke Para Panglima GAM, Panglima Laot, Sampai Panglima Tibang. Jadi Aceh selain kaya dengan kekayaan Alam juga kaya dengan Panglima.[]
sumber : http://politik.kompasiana.com/2010/10/06/aceh-negeri-seribu-panglima/
Komentar