Image via Wikipedia
SIAPA bilang orang Gayo Kabupaten Aceh Tengah bukan orang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)? Kalau bahasa dan budayanya beda dari Aceh lainnya, memang benar. Akan tetapi, Tanah Gayo Aceh Tengah sejak zaman kerajaan Aceh hingga penjajahan Belanda dikenal sebagai Kabupaten Aceh Tengah. Zeingraf, tentara dan wartawan Belanda menulis dalam bukunya Acheh menyebutkan, Gayo Central Distric of Acheh.
Selain itu, ulama besar Gayo, Tengku Ilyas Leubee, adalah sahabat karib ulama karismatik Aceh, Tengku Mohd Daud Beureueh. Beberapa lelaki Gayo pemberani berjuang bersama ulama di Aceh melawan penjajahan Belanda. Dan, Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah adalah tempat paling berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena dari sinilah berita-berita Indonesia telah merdeka dan kaburnya Belanda dari berbagai daerah disiarkan oleh Radio Rimba Raya. Pemancar radio Tentara Rakyat Indonesia Divisi X Gajah di Aceh Tengah berhasil diselamatkan dari pengejaran tentara Belanda.
Untuk mengingat peristiwa penting itu, Pemerintah RI membangun sebuah monumen besar Radio Rimba Raya dengan tugu yang dipuncaknya ada antena radio. Dan, Radio Rimba Raya diakui pemerintah sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Sebab tahun 1948, ketika itu seluruh stasiun RRI di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, Yogya, dan Surabaya telah dihancurkan Belanda. "Untung ada Radio Rimba Raya itu," kata pakar budaya Gayo Aceh Tengah Fikar Weda menceritakan sedikit sejarah Aceh Tengah sebagai bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
***
CERITA di atas hanyalah ilustrasi untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan persaudaraan dan kedaerahan antara Tanah Gayo yang unik karena bahasa dan budayanya yang khas dan beda dengan daerah lainnya di Provinsi NAD. Perbedaan itu dikobarkan oleh sejumlah tokoh masyarakat Aceh Tengah sebagai perbedaan dengan membesar-besarkan soal kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD terhadap pembangunan Tanah Gayo. Hingga muncul rencana membentuk provinsi baru, Leuser Antara, yang sempat diseminarkan di Medan awal tahun 2002. Tapi akhirnya rencana itu buyar dengan sendirinya karena tidak mendapat dukungan penuh dari rakyat di ketiga kabupaten tersebut.
Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, bisa ditempuh melalui jalur darat Bireun-Takengon yang jaraknya 110 Km. Perjalanan ke Takengon lewat Bireun memakan waktu tiga jam karena jalannya yang berkelok-kelok dan penuh tanjakan serta penurunan tajam. Jalan yang sempit membuat kendaraan harus hati-hati benar melewatinya. Pada musim hujan, jalan ini sering ditimpa bencana longsor yang mengakibatkan hubungan terputus berhari-hari lamanya.
Penduduk Kabupaten Aceh Tengah berjumlah 252.738 jiwa, tersebar di 11 kecamatan dan 197 desa serta dua kelurahan. Mata pencaharian penduduk adalah bertani, terutama kopi arabica, sayur-mayur, buah-buahan seperti jeruk keprok, alpokat, dan markisa, serta lainnya. Luas lahan perkebunan kopi daerah pegunungan yang berhawa sejuk ini 74.500 ha, sehingga Aceh Tengah terkenal sebagai produsen "Gayo Mountain Coffee", yakni kopi arabica yang diolah oleh pabrik modern di Takengon untuk diekspor ke Amerika dan Eropa.
Luas tanaman hortikultura 31.000 ha. Aceh Tengah adalah lahan hutan pinus-yang menjadi bahan baku Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA)-terbesar di Indonesia. Luas hutan pinusnya lebih dari 52.000 hektar.
Meski lebih dari 70 persen penduduknya hidup bergantung pada perkebunan kopi arabica dan hortikultura, namun rakyat Aceh Tengah tidak tergolong petani kaya. Bahkan, jika harga kopi merosot, mereka segera jatuh miskin atau kesulitan uang untuk belanja rumah tangga. Pusat perdagangan Aceh Tengah di Takengon 80 persen dikuasai pendatang, terutama masyarakat Padang, Cina, dan "Cina Hitam" dari Kabupaten Pidie. Karena itu, sebagian besar hasil perdagangan kopi jatuh ke tangan pedagang pendatang ini. Sementara rakyat Gayo sudah puas menguasai areal perkebunan kopi saja.
***
SETELAH berstatus sebagai daerah otonomi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Dae-rah (APBD) Kabupaten Aceh Tengah meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya yang paling tinggi Rp 250 juta menjadi Rp 232.140.372.462,06 pada tahun 2001, didukung oleh pendapatan asli daerah (PAD) 2001 sebesar Rp 4.201.413.469.
APBD Tahun 2002 ini turun menjadi Rp 217.229.510.710, terdiri dari anggaran rutin Rp 124.510.494.970 dan anggaran pembangunan Rp 92.719.015.740. Sementara PAD Tahun 2002 direncanakan Rp 5.063.894.970. Menurut Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy, sasaran utama APBD adalah membenahi prasarana perhubungan dan membangun berbagai fasilitas umum.
Bahasa sehari-hari penduduk Aceh Tengah adalah bahasa Gayo Aceh Tengah. Hanya di Takengon bisa didengar warga berbicara dalam bahasa Indonesia, sedangkan orang Gayo yang bisa berbahasa Aceh bisa dihitung dengan jari. (BASRI DAHAM)