Langsung ke konten utama

Awal Kehancuran Kerajaan Aceh Darussalam

Masa Pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah, Kerajaan Belanda mengultimatum Kerajaan Aceh tertanggal 26 maret 1873 dengan diikuti pengiriman tentaranya untuk menyerang Kerajaan Aceh, sehingga pertempuran dua negara pun tak bisa dielakkan. Kerajaan Aceh pun dengan segala upaya mempertahankan kedaulatannya, baik melalui pertahanan maupun dengan cara diplomasi.

Dengan pertahanan, Prajurit Kerajaan Aceh mampu menewaskan Panglima perang tentara Belanda yakni : Jenderal Mayor J.H.R Kohler. Di bidang diplomasi Kerajaan Aceh pun mengirim utusan ke Kerajaan Ottoman Turki Usmani serta mengadakan diplomasi ke Amerika Serikat melalui konsulnya di Singapura.

Setelah gagal dalam Invansi pertama, Kerajaan Belanda menyiapkan Invansi kedua untuk membumi-hanguskan Kerajaan Aceh agar takluk di bawah pemerintahan Ratu Belanda. Rakyat Aceh yang beragama Islam dengan semangat Jihad fi sabilillah tetap mempertahankan Kedaulatan Negaranya Dalam invansi kedua ini, pasukan Belanda mampu merebut “Dalam” yakni Istana Darud-donya, akhirnya Sulthan Alaiddin Mahmud Syah terpaksa menyingkir dari dalam.

Dengan keyakinan tinggi untuk tetap berdaulat, Sulthan Aceh dengan ilmu kenegaraannya yang sudah diakui dunia memindahkan pusat pemerintahan (Ibu kota) ke Indra Puri hingga pada tahun 1874 beliau meninggal di Samahani karena wabah kolera yang sengaja didatangkan oleh tentara Belanda dan dimakamkan di Samahani tepatnya di Desa Tumbo Baro Kec. Kuta Malaka Kab. Aceh Besar.

Setelah baginda Sulthan Alaiddin Mahmud Syah wafat, Para pembesar Kerajaan Aceh mengangkat Tuanku Muhammad Daud pengganti beliau, sehingga Tuanku Muhammad Daud bergelar Sulthan Alaiddin Muhammad daud Syah. Karena Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah masih sangat muda, maka ditetapkan Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai pemangku sulthan.

Untuk menampakkan masih adanya Pemerintahan yang sah di Kerajaan Aceh kepada Dunia Internasional, maka sesuai dengan hukum adat Aceh ditabalkanlah Tuanku Muhammad Daud menjadi sulthan Aceh di Mesjid Indra Puri pada tahun 1878 dengan pesta rakyat yang sangat meriah. Panglima perang Belanda di Aceh “Van Swieten” mendengar adanya penambalan sulthan Aceh sangat marah, karena keinginan Pemerintahan Belanda untuk menggantikan posisi Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang telah meninggal gagal total.

Dengan ditabalnya Tuanku Muhammad Daud sebagai sulthan Aceh, maka beliau berhak menyandang gelar Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Di bawah pemerintahan beliau pun Van Swieten denga gencar menyerbu pusat pemerintahan (Ibu Kota), sehingga Ibu Kota pun terpaksa dipindahkan hingga beberapa kali hingga sampai ke Keumala Dalam.

Di Keumala Dalam, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah mengangkat Tgk. Chik Muhammad Saman di Tiro sebagai Panglima tertinggi fi sabilillah Kerajaan Aceh untuk mengusir Pasukan Kerajaan Belanda hingga Tgk. Muhammad Saman meninggal karena diracuni oleh seorang janda yang telah diupah oleh tentara Belanda tahun 1891 sehingga untuk menggantikannya diangkatlah anaknya Tgk. Muhammad Amin (makamnya ada di Tiro) dengan gelar Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro sebagai pemimpin pasukan fi sabilillah dengan persetujuan Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah.

Dengan taktik dan siasat busuk yang dilakukan oleh tentara Belanda dengan menangkap anak sulthan Aceh dan istrinya yakni : Tuanku Raja Ibrahim dan 2 istrinya Teungku Putroe Gambo Gadeng dan Pocut Morong pada tahun 1902. Sehingga denga adanya tekanan dari pihak Belanda, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah setelah bermusyawarah dengan para pembesar Kerajaan Aceh setelah mengamanahkan stempel “Tjap sikeureung” kepada Tgk Chik di Tiro yang saat itu disandang oleh Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro. Ini jelas terbukti bahwa ketika Sulthan menanda-tangani surat penyerahan tanpa tanpa dibubuhi stempel “Tjap sikeureung” yang merupakan stempel resmi kerajaan Aceh.

Walaupun Sulthan telah menyerah, namun pihak pembesar Kerajaan lainnya bersama dengan Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro tetap mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda terhadap Negara Aceh. Sehingga Sulthan Alaiddin Muahammad Daud Syah diasingkan ke Batavia. Lagi-lagi dengan tekad yang tinggi untuk mengembalikan kedaulatan Kerajaan Aceh kembali seperti semula, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah mengirim surat kepada kepada Kaisar Jepang ketika masih berada di KUTA RADJA. Ini terbukti ketika tentara Belanda menggeledah rumah kediaman Sulthan, sehingga beliau diasingkan lagi ke Ambon.

Lagi-lagi Sulthan membuat onar dengan menggerakkan para para nelayan dan pengrajin cengkeh di Ambon yang keturunan Bugis (Sulthan Aceh sendiri keturunan Bugis) untuk mengadakan perlawanan. Karena kekhawatiran dari pihak Belanda, sehingga Sulthan ALaiddin Muhammad Daud Syah dipindahkan lagi ke Batavia hingga beliau meninggal tahun 1939 dan dimakamkan TPU (tempat pemakaman umum) Rawamangun-Jakarta Timur.

Setelah beliau wafat, kekuatan politik yang tidak menentu karena adanya orang berpendidikan luar yang telah terpengaruh dengan sistem Kolonial dan mempunyai kekuatan karena memegang Jabatan sebagai Ketua Umum PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), dengan serta merta menggabungkan ACEH ke dalam NKRI. Karena suatu jabatan yang dijanjikan yakni Gubernur Militer, ketika Kebijakan NKRI yang menggabungkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Timur (Ibukotanya Medan). Beliau (sang pengkhianat Negara/Kerajaan Aceh) mengangkat kembali senjata dengan dalih Soekarno tak menepati janji, sehingga terjadi DI/TII Aceh karena kerakusan mereka terhadap jabatan.

Di lain pihak, yakni Tuanku Raja Ibrahim (anak Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah) tidak meneriakkan lagi akan hak waris tahta Negara Aceh walaupun harus hidup menderita.

~Selamatlah mereka yang tidak mengejar kekuasaan, karena kekuasaan hanya membawa petaka
Sumber: Pusat Dokumen & Informasi Aceh (dengan perubahan penulis)

POPULAR

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Nusantara

Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. i Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendo...

Generasi Muda Wajib Tahu! Museum Tsunami Aceh Jadi Pusat Belajar Mitigasi

MUSEUM Tsunami Aceh kembali jadi sorotan. Kali ini, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ( Wamen Dukbangga ) atau Wakil Kepala BKKBN , Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka , berkunjung langsung untuk melihat bagaimana museum kebanggaan masyarakat Aceh ini terus hidup sebagai pusat edukasi kebencanaan, Kamis, 9 Oktober 2025.  Didampingi Ketua TP PKK Aceh Marlina Usman, kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Isyana menegaskan bahwa museum ini punya peran strategis: bukan hanya monumen peringatan tsunami 2004 , tapi juga ruang belajar generasi muda tentang kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan keluarga. “Museum ini jadi pengingat dahsyatnya tsunami 2004, sekaligus tempat belajar bagi generasi yang saat itu belum lahir. Mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang,” ujar Isyana, yang juga mengenang pengalamannya meliput langsung Aceh pascatsunami 20 tahun lalu. Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M Syahputra AZ, menyambut hangat kunjungan ini. Ia menegaskan bahw...

Museum Tsunami Aceh Hadirkan Koleksi UNHCR sebagai Media Pembelajaran Kebencanaan

UPTD Museum Tsunami Aceh akan segera memperkaya koleksinya dengan penambahan barang-barang bersejarah berupa bantuan kemanusiaan yang digunakan pada masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca tsunami 2004. Koleksi ini akan disumbangkan oleh UNHCR Indonesia sebagai wujud dukungan terhadap upaya pelestarian memori kolektif bencana dan pendidikan kebencanaan. Barang-barang yang akan diserahkan antara lain selimut, ember, perlengkapan dapur, dan tikar yang membawa logo UNHCR. Kepala Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Francis Teoh, menegaskan bahwa benda-benda tersebut bukan sekadar artefak, melainkan simbol nyata dari solidaritas global. “Barang-barang ini merupakan saksi bisu dari upaya kemanusiaan dunia yang menyatu dengan gelombang solidaritas untuk Aceh,” ujar Teoh, Sabtu, 27 September 2025. Teoh yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun di UNHCR dan terlibat langsung dalam tanggap darurat tsunami Aceh, menambahkan bahwa Museum Tsunami Aceh adalah ruang pembelaj...