Langsung ke konten utama

Sejarah Aceh Perlu Dimasukkan dalam Kurikulum Sekolah

Sosiolog, dan aktifis HAM Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, mengatakan, bahwa sejarah Aceh perlu dimasukkan dalam kurikulum pelajaran di sekolah. Karena, generasi mudah Aceh saat ini tidak paham terhadap sejarahnya sendiri.

“Sejarah Aceh memang belum dituliskan dalam bentuk sebuah buku induk, tetapi perlu usaha dan keseriusan pemerintah Aceh sendiri dalam hal ini, jika memang Aceh adalah sebuah kaum yang beradab yang menghargai jiwa para pahlawan,” katanya, siang ini.

Dikatakan, bahwa buku Aceh Sepanjang Abad karya, Muhammad Said, pendiri Waspada, dapat dijadikan acuan untuk sementara. Pemerintah perlu memperhatikan sejumlah penulis sejarah, dan mereka-mereka yang berkaitan dengan usaha memelihara budaya, termasuk penulis sastra.

“Sebab sejauh ini belum ada dari kalangan orang Aceh sendiri yang menulis sastra sejarah,” katanya.

Dikatakan, sebagian sejarah revolusi sosial perang Cumbok, dan DI/TII, pembasmian PKI, dan GAM di Aceh belum ada usaha serius dituliskan dengan baik, sebagaimana kehendak sejarah yang semestinya dipaparkan. "Agar kelak menjadi pengetahuan dan pelajaran bagi generasi penerus,” jelasnya.

Maka, katanya, tentang sejarah lampau, baik kesultanan, dan asal-usul Aceh terlupakan, tidak ada generasi yang betul-betul paham akan semua peristiwa itu. “Pendidikan sejarah dulu ditampilkan sesuai dengan tingkat pendidikan, untuk SD dalam bentuk legenda atau hikayat. Sejarah ditampilkan dalam bentuk cerita,” ujarnya.

Di sekitar tahun 1960-1970-an, menurutnya, di tingkat SMP, dan SLTA memang ada diajarkan, kemudian hilang perlahan-lahan, seiring dengan perubahan kurikulum yang terjadi sebentar-sebentar.

Pelajaran tentang sejarah lokal itupun lantas menghilang, tiada guru yang coba menanya, atau menyoalkan. “Atau barangkali mereka juga kurang peduli terhadap sejarahnya sendiri,” katanya.

Komentar

POPULAR

Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Islam Pertama Nusantara

Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. i Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendo...

Generasi Muda Wajib Tahu! Museum Tsunami Aceh Jadi Pusat Belajar Mitigasi

MUSEUM Tsunami Aceh kembali jadi sorotan. Kali ini, Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ( Wamen Dukbangga ) atau Wakil Kepala BKKBN , Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka , berkunjung langsung untuk melihat bagaimana museum kebanggaan masyarakat Aceh ini terus hidup sebagai pusat edukasi kebencanaan, Kamis, 9 Oktober 2025.  Didampingi Ketua TP PKK Aceh Marlina Usman, kunjungan ini bukan sekadar seremoni. Isyana menegaskan bahwa museum ini punya peran strategis: bukan hanya monumen peringatan tsunami 2004 , tapi juga ruang belajar generasi muda tentang kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan keluarga. “Museum ini jadi pengingat dahsyatnya tsunami 2004, sekaligus tempat belajar bagi generasi yang saat itu belum lahir. Mereka perlu tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang,” ujar Isyana, yang juga mengenang pengalamannya meliput langsung Aceh pascatsunami 20 tahun lalu. Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M Syahputra AZ, menyambut hangat kunjungan ini. Ia menegaskan bahw...

Museum Tsunami Aceh Hadirkan Koleksi UNHCR sebagai Media Pembelajaran Kebencanaan

UPTD Museum Tsunami Aceh akan segera memperkaya koleksinya dengan penambahan barang-barang bersejarah berupa bantuan kemanusiaan yang digunakan pada masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca tsunami 2004. Koleksi ini akan disumbangkan oleh UNHCR Indonesia sebagai wujud dukungan terhadap upaya pelestarian memori kolektif bencana dan pendidikan kebencanaan. Barang-barang yang akan diserahkan antara lain selimut, ember, perlengkapan dapur, dan tikar yang membawa logo UNHCR. Kepala Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Francis Teoh, menegaskan bahwa benda-benda tersebut bukan sekadar artefak, melainkan simbol nyata dari solidaritas global. “Barang-barang ini merupakan saksi bisu dari upaya kemanusiaan dunia yang menyatu dengan gelombang solidaritas untuk Aceh,” ujar Teoh, Sabtu, 27 September 2025. Teoh yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun di UNHCR dan terlibat langsung dalam tanggap darurat tsunami Aceh, menambahkan bahwa Museum Tsunami Aceh adalah ruang pembelaj...